Parung Panjang, Bogor (26/03/2017) - Indonesia yang sering dijuluki sebagai “The Golden Islands” oleh dunia internasional menyimpan keragaman budaya yang tak ternilai harganya. Kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia berasal dari adat istiadat yang dijaga kelestariannya.
Namun tidak jarang pula keragaman tersebut justru memicu konflik antarwarga, seperti konflik antarumat beragama yang terjadi di Kecamatan Parung Panjang yang secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Bogor dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tangerang, Banten.
Salah satu kelompok umat beragama di daerah tersebut mengalami kendala serius untuk beribadah karena ada kelompok agama lain yang merasa terancam dan melarang kegiatan peribadatan mereka yang dilakukan di salah satu perumahan warga. Sampai saat ini Pemerintah Kecamatan Parung Panjang dan Pemerintah Kabupaten Bogor masih mengupayakan berbagai cara untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Ternyata tidak semua warga Parung Panjang miskin akan toleransi beragama dan berbudaya. Desa Lumpang adalah saksi dari berkembangnya budaya minoritas di Kecamatan Parung Panjang. Terdapat vihara besar yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan umat Buddha di desa ini.
Nama vihara ini adalah Vihara Avalokitesvara. Vihara ini terletak di Kampung Sadangan dan berdiri megah tidak jauh dari jalanan berlubang yang penuh debu karena dilalui oleh truk pengangkut pasir setiap harinya. Meskipun demikian, suasana asri tetap terasa di vihara ini karena bangunannya terawat dengan baik dan dikelilingi pepohonan.
Keramahan di Vihara Avalokitesvara mulai terasa sejak tim redaksi menyambangi bangunan ini dan disambut baik oleh salah seorang umat Buddha di sana. Minggu, 26 Maret 2017 sekitar pukul 11.00 WIB masih berlangsung acara pemberkatan pernikahan di vihara ini. Bapak Ahadi selaku Ketua Majelis Umat Buddha di Kecamatan Parung Panjang mulai bercerita mengenai sejarah singkat vihara ini setelah acara pemberkatan tersebut.
Menurutnya Vihara Avalokitesvara sudah didirikan sejak tahun 1980 dan sudah mengalami beberapa kali renovasi sehingga menjadi semegah sekarang. Bapak Ahadi membenarkan bahwa vihara ini merupakan vihara terbesar yang ada di Kecamatan Parung Panjang.
Kebaktian bagi para remaja dijadwalkan setiap Jumat malam. Setiap Minggu pagi ada jadwal sekolah minggu untuk siswa Paud hingga SMP kelas 3. Siang harinya, majelis yang terdiri dari bapak-bapak dan ibu-ibu mendapat giliran untuk melakukan kebaktian.
Salah satu kebudayaan yang paling menonjol di vihara ini adalah barongsai. Anggota kesenian barongsai di Vihara Avalokitesvara terdiri dari laki-laki dan perempuan berjumlah 30 orang. Barongsai tidak hanya ditampilkan saat perayaan hari besar agama Buddha saja, barongsai juga biasanya tampil di acara ulang tahun anak-anak dan pemberkatan pernikahan.
Perayaan terbesar yang diadakan di Vihara Avalokitesvara adalah Shejit. Shejit merupakan perayaan ulang tahun vihara. Umat Buddha di sekitar Desa Lumpang merayakan Shejit di Vihara Avalokitesvara dengan beribadah, melakukan ritual mengelilingi rupang, ritual injak bara, dan ritual mandi minyak yang dipercaya dapat mengobati berbagai macam penyakit.
Tidak hanya itu, pemuda vihara juga akan menampilkan kesenian yang sudah mereka pelajari lewat sekolah minggu seperti drama musikal, seni suara, seni tari, dan barongsai. Pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak di situlah langit dijunjung. Pepatah ini sangat tepat untuk menggambarkan sikap para pemuda di vihara ini. Meskipun keturunan tionghoa, mereka tidak melupakan kebudayaan tradisional yang ada di Indonesia, khususnya budaya sunda. “Nggak cuma budaya tionghoanya aja, kita juga ngajarin Tari Jaipong dan Tari Betawi untuk siswa sekolah minggu,” tutur Hendra yang sehari-harinya berprofesi sebagai staf administrasi di salah satu perusahaan.