Sungguh beruntung saya menjadi satu di antara 60 penulis dan awak media yang diundang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam dialog yang salah satu sesinya menghadirkan dua mantan teroris.
Dua teroris yang kini sudah 'tobat' itu adalah Sofyan Tsauri, yang memasok senjata ke kelompok Dulmatin. Satu lagi adalah Sukanto, dulu sempat menjadi pejabat NII (Negara Islam Indonesia), kini aktif di NII Crisis Centre. Keduanya adalah pria-pria berbadan tegap, lumayan tampan dan aura wajahnya teduh. Pakaiannya celana dipadu kemeja dan bukan gamis. Mereka tak mengenakan kopiah ataupun peci. Penampilan keseluruhan berbeda betul dengan foto-foto yang pernah saya lihat di media saat pemberitaan penangkapan atau sidang mereka.
Dalam ruangan di Hotel Best Western Premier Solo Baru itu, Sabtu (23/10/2016), Sukanto menuturkan seluk beluk NII. Yang paling menarik adalah bagaimana NII merekrut anggota. Sasaran mereka di antaranya adalah anak-anak sekolah. Namun NII, menurut Sukanto, tidak menyasar anak-anak yang pintar dan punya latar belakang agama yang kuat. Anak-anak jenis ini akan susah dipengaruhi. Mereka justru memilih yang sebaliknya, karena gampang dipengaruhi.
NII tidak terang-terangan dalam mengajak bergabung ke kelompok mereka, seperti bicara di pengajian. Semua gerakannya bersifat rahasia. Biasanya anak yang menjadi target didekati, lalu diajak bertemu, misalnya di sebuat food court. Di tempat itu datang tidak cuma satu anggota NII tapi ada beberapa orang, bisa empat atau lima orang yang pura-pura bertemu secara kebetulan lantas ikut bergabung di tempat duduk yang sama. Kemudian anak tersebut dikeroyok dan dicuci otaknya rame-rame, bagai satu kijang yang dimangsa bareng-bareng oleh lima singa.
Sukanto yang pernah menjabat koordinator kelurahan di NII (setingkat jabatan camat di NKRI), akhirnya sadar dan keluar dari NII karena akal sehatnya mengalahkan doktrin NII. Apalagi NII pecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Perpecahan itu biasanya disebabkan oleh urusan uang. Kini dia pilih bergabung di NII Crisis Centre untuk membantu mantan-mantan anggota NII yang mengalami depresi. NII Crisis Centre juga membantu para orang tua yang menduga anaknya terlibat jaringan terlarang ini.
Hal yang tak kalah menarik diungkapkan Sofyan Tsauri. Sofyan melihat konflik-konflik sosial terkait ketidakadilan yang dirasakan umat Islam, rentan menjadi pemicu gerakan-gerakan teror dan membuat masyarakat bergabung di dalamnya. Peristiwa yang menimpa Palestina dan kasus yang lebih kecil bisa menjadi pemicu itu. Kelompok teror memang menunggu-nunggu kesempatan untuk bergerak dan bermain ketika ada isu-isu yang membuat masyarakat bergolak. Dia mencontohkan, kasus yang menimpa gubernur DKI sekarang.
Sofyan mengaku tobat karena sadar apa yang dilakukannya selama ini salah. Apalagi setelah dia mengkaji lebih dalam, kemudian dia juga menyadari, kelompok-kelompok teror menggunakan ayat-ayat dalam Alquran dan hadist Nabi yang sengaja dipilih dan disalahgunakan sebagai doktrin dan alasan melakukan teror. Perintah yang ada pada surat-surat, ayat dan hadist yang saat diturunkan sebenarnya menyasar pada sekelompok tertentu dalam kondisi saat itu, kini diterapkan pada semua orang tanpa peduli latar belakangnya.
Baik Sukanto maupun Sofyan setuju bahwa keluarga adalah benteng terakhir agar anak-anak tidak terjerumus dalam kegiatan terorisme. Kasih sayang dan perhatian orang tua dan ajaran agama yang benar akan membuat mereka imun dan tak gampang dimasuki doktrin yang salah. Ketika ada perubahan sikap seperti menarik diri dari pergaulan, perubahan teman sepermainan atau pola komunikasi, orang tua harus waspada. Sementara kegiatan kerohanian Islam jangan dihindari karena setidaknya memang membantu menjauhkan anak dari seks bebas dan narkoba. Namun sekolah harus memantau dengan baik, sebab memang menjadi rebutan kelompok-kelompok di luar untuk masuk dan mencari massa. Untuk itu tentornya harus diseleksi dengan ketat.
Solo, 23 Oktober 2016