Saya tak berpikir panjang ketika seorang teman mengirim tautan web Solo Mengajar. Dia menyarankan saya bergabung di Kelas Inspirasi tahun ini. Jiwa relawan memanggil-manggil. Saya sangat antusias, ingin ikut terlibat kegiatan yang sangat visioner ini. Memotivasi anak-anak untuk berani bercita-cita adalah tugas orang dewasa di  lingkungan sekitarnya. Tahun lalu saya hanya bisa melongo melihat aksi kawan-kawan di kegiatan yang sama. Saya pun langsung mengisi form pendaftaran relawan. Satu pekan lagi pendaftaran relawan ditutup.
Kelas Inspirasi adalah bagian dari program Indonesia Mengajar. Kelas Inspirasi diselenggarakan di sejumlah kota, dengan mengajak masyarakat umum terlibat aktif dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan bangsa. Di Kelas Inspirasi, para profesional berbagai sektor dilibatkan dalam misi perbaikan kualitas pendidikan. Mereka diminta berbagi kisah di hadapan siswa-siswa SD pinggiran, agar anak-anak mendapatkan wawasan yang lebih luas dan berani bercita-cita tinggi.Â
Well... Saat mengisi form pendaftaran online, dada saya berdegup. Form yang harus diisi adalah hal-hal yang terkait dengan profesi/pekerjaan. Sementara  kegiatan saya sehari-hari, apakah termasuk dalam kategori "profesi/pekerjaan"? Blogger? Itu bukan pekerjaan, walau kadang ada yang dihasilkan dari situ sebagai ekses. Yang pasti saya adalah penulis. Selain menulis di blog, saya menyunting, mengedit dan menulis buku, serta menulis buku untuk orang. Kalaupun saya mengajar di perguruan tinggi untuk matakuliah yang tak jauh-jauh dari menulis, itu sifatnya tidak tetap. Saya bukan dosen tetap walau punya pangkat mentereng: "asisten ahli".Â
Persetan dengan semua itu, saya pun berusaha mengisi form dengan lengkap dan saya masukkan informasi tentang semua kegiatan saya. Yang jelas saya punya misi pribadi untuk mengajak anak-anak suka membaca dan kemudian belajar menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Mau diterima ya syukur, tidak ya nggak masalah.Â
Mendekati hari H, seseorang menghubungi saya melalui SMS, menyatakan aplikasi saya diterima. Saya diminta mempersiapkan diri sebagai inspirator di Kelas Inspirasi untuk lokasi SDN Sawahan 2 Pasar Kliwon, Solo. Menyusul kemudian adalah pesan dari seorang relawan lain yang merupakan  fasilitator kami, Basyiroh, melalui aplikasi Whatsapp/WA. Dalam waktu singkat kami tergabung dalam grup WA. Tim kami terdiri atas tiga inspirator, satu inspirator leader, tiga fasilitator dan dua dokumentator.
Selain saya, inspirator lainnya adalah Deni Cahyadi (cabin steward) dan Rohana (guru). Kedua inspirator selain saya datang dari Jakarta. Belakangan mbak Rohana mundur tepat di Hari Inspirasi, karena orangtuanya mengalami kecelakaan (kemudian sore harinya dikabarkan meninggal), dan digantikan Budi Raharjo (pengusaha) yang semula diplot sebagai inspirator leader.  Sebelum Hari Inspirasi tiba, semua relawan dikumpulkan di  auditorium sebuah perguruan tinggi di Solo untuk technical meeting. Tepat sehari sebelum hari inspirasi, tim kami mengunjungi SDN 2 Sawahan untuk cek lokasi.
Hari Inspirasi pun tiba. Tepat pukul 07.00 WIB kami sudah ada di SD Sawahan, masing-masing dengan perlengkapan perang. Kak Deni Cahyadi membawa beberapa gulung handuk untuk demonstrasi di depan siswa, menjelaskan pekerjaan sebagai kru kapal pesiar. Saya datang bak pengamen, dengan membawa gitar untuk mengajak anak-anak menyanyi sebagai ice breaking biar mereka tidak bosan. Adik-adik fasilitator membawakan perlengkapan yang dibutuhkan di kelas seperti proyektor, laptop, gulungan kabel dan lain sebagainya. Dokumentator membawa kamera dengan berbagai pilihan lensa untuk mengambil gambar baik berupa video maupun foto-foto.
Masing-masing inspirator bergantian masuk ke kelas III, IV dan V. Anak-anaknya rata-rata lebih besar dari siswa kelas yang sama di SD lain. Maklum, banyak di antara mereka terlambat masuk sekolah. Lingkungan di mana kami melakukan misi ini di Solo dikenal rawan, dengan tingkat ekonomi rendah dan tingkat kriminal tinggi. Sejumlah anak bahkan harus dipaksa agar mau pergi ke sekolah. Ini belum seperti sekolah sebelah tak jauh dari situ, di mana kemarin ada anak yang batal ikut UN karena pilih mengemis.Â
Walaupun sekolah itu lokasinya di pinggiran, ternyata mereka anak-anak yang lumayan sopan. Guru-guru rupanya telah bekerja dengan baik membuat mereka mengerti etika dan lebih disiplin. Ketakutan menghadapi anak-anak yang liar dan susah diatur tidak terjadi. Saya masuk ke kelas II, IV baru V. Untuk mengondisikan anak-anak, saya didampingi satu fasilitator.Â
Anak-anak sangat antusias mendengarkan kisah yang saya sampaikan. Saya katakan, dengan tulisan kita bisa mengisahkan tentang kebaikan-kebaikan yang ada di sekitar kita. Kita bisa mengabarkan kepada dunia tentang kebaikan-kebaikan yang ada di Indonesia. Alamnya yang indah, penduduknya yang ramah dan saling menghormati satu sama lain. Saya tunjukkan gambar-gambar alam Indonesia, lalu saya ajak anak-anak menyanyikan bersama lagu "Tanah Airku". Saya iringi nyanyian mereka dengan gitar.
Apalagi ketika saya bilang kepada mereka, bahwa kegiatan menulis telah mengantarkan saya bertemu Presiden, sambil saya tunjukkan foto-foto saya bersama Presiden Jokowi di Istana Negara. Mereka berjanji akan rajin membaca agar bisa menulis juga. Siapa tahu kelak tulisannya dibaca Presiden dan akhirnya diundang ke Istana juga seperti Kak Niken. Saya tekankan kepada anak-anak, jadi apapun mereka tidak masalah, yang penting jadi orang yang baik. Profesi apapun bisa dilakukan dengan menjadi penulis secara bersamaan.Â