Melahirkan dengan ILA (Intrathecal Labor Analgesia), menjadi pilihanku saat kelahiran anak ketiga kami: Maulida Naila Hanunnaura atau Hanun (lahir 18 Agustus 2007). Sejak awal, saya sudah bicara kepada dokter SPOG--ku bahwa saya memilih menggunakan ILA. Habisnya, saya trauma dengan rasa sakit luar biasa saat melahirkan anak pertama dan kedua. Namun di satu sisi saya tidak mau caesar. Saya ingin melahirkan normal. Sengaja saya datang kepada Dokter Soffin Arfian, karena dialah yang mempelopori penggunaan ILA di Solo, sekitar tahun 2002 melalui sebuah seminar. Waktu itu saya berpikir: Wah… cocok niiiih…. Buat yang ingin melahirkan normal tapi takut sakit kayak saya. Akhirnya ketika positif hamil lagi pada tahun 2007, saya bicara kepada Dokter Soffin, bahwa saya ingin melahirkan dengan ILA. Dan setelah mengetahui medical record saya, Pak Dokter menyatakan saya bisa menggunakan ILA. Waktunya pun tiba. Tepatnya 9 hari menjelang perkiraan persalinan, sekitar pukul 16.00 saya merasakan kontraksi, ditandai dengan perut terasan kenceng disertai mulas yang datang-pergi. Saya langsung disarankan masuk ruang bersalin. Setelah memeriksa, dokter menyatakan jalan lahirnya sudah membukaa 2 sentimeter. Saya sempat sedikit memaksa dokter agar memberikan suntikan ILA saat itu juga, karena saya takut rasa sakitnya bertambah. Namun dokter bilang, sebaiknya ditunggu hingga bukaan ketiga. Dan ternyata saya baru bukaan 3 sekitar pukul 17.30. Sebenarnya saat itu juga saya sudah sangat terkondisi untuk disuntik ILA. Malangnya, dokter spesialis anestesi baru datang menjelang Isya atau sekitar satu jam kemudian. Walaupun pembukaan jalan lahir belum bertambah, saya sudah hampir tidak kuat karena sakit akibat kontraksi mulai terasa lebih hebat. Akhirnya seiring kedatangan Dokter Purwoko SpA, saya pun di suntik ILA. Saya diminta tidur miring, sementara sejumlah peralatan kedokteran dipasang di sekitar ranjang untuk memantau kerja jantung saya dan kondisi bayi. Suntikannya hampir tidak terasa karena jarumnya amat lembut, dan prosesnya pun berlangsung sangat cepat. Kurang dari tiga menit setelah disuntik, saya merasakan seluruh tubuh saya lebih rileks. Sakit akibat kontraksi bukannya hilang sama sekali. Tetap terasa, namun jauh berkurang. Saya pun menunggu kelahiran si jabang bayi sambil mengobrol dengan suami dan anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga kami sempat bertanya-tanya… mau melahirkan kok santai, nggak teriak-teriak seperti beberapa pasien lain yang kebetulan akan melahirkan juga di kamar yang sama. Sesekali saya diperiksa lagi, dan ajaibnya, pembukaan jalan lahir berlangsung lebih cepat. Sekitar 1,5 jam kemudian, pembukaan jalan lahir mencapai 10 sentimeter. Sejak pembukaan 8 sentimeter, dokter dibantu sejumlah perawat sudah menyiapkan persalinan. Dengan santai Dokter Soffin berkata: “Saya beritahu cara mengejan yang sangaaat gampang: Nanti begitu kontraksi datang, ambil napas panjang dan mulai mengejan tanpa bersuara, ya?” Saya ikuti kata dokter, dan subhanallah, sekali mengejan Hanun keluar menyapa dunia. Dengan cepat dokter memotong tali pusat dan menjepitnya, lantas Hanun ditaruh di dada saya untuk inisiasi menyusu dini, sembari dokternya menjahit jalan lahir. Lebih menyenangkan lagi, karena suami saya untuk kali pertama ada di sisi saya saat melahirkan. Itu tidak dia lakukan saat saya melahirkan yang pertama dan kedua, karena dia enggak tega melihat saya kesakitan. Alhamdulillah saya ucapkan berkali-kali saat itu, saya diberi kelancaran saat melahirkan, sesuai harapan saya: normal dan nggak sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H