Mohon tunggu...
Niken Satyawati
Niken Satyawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ibu biasa

Ibu 4 anak, tinggal di Solo. Memimpikan SEMUA anak Indonesia mendapat pendidikan layak: bisa sekolah dan kuliah dengan murah. Berharap semua warga Indonesia mendapat penghidupan layak: jaminan sosial dan kesehatan. TANPA KECUALI. Karena begitulah amanat Undang Undang Dasar 1945.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

(FFA) Sepatu Balerina untuk Mauli

20 Oktober 2013   02:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:17 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Niken Satyawati

No Pendaftaran 184

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi: weedecor.com"][/caption]

Sepatu balerina baru. Ya. Itu yang dijanjikan Papa. Sepatu baru untuk menari balet pada pentas amal besok. Sepatu balerina Mauli yang lama belum rusak sih… tapi sudah butut. Tak hanya itu, Papa juga berjanji menonton saat Mauli pentas. Ini penting, sebab Papa sering tak bisa menonton pentas Mauli karena kesibukannya

Sejak di sekolah, Mauli sulit berkonsentrasi. Dia tak sabar ingin segera pulang. Saat berlangsung pelajaran Matematika, Mauli malah membayangkan sedang berada di toko perlengkapan menari balet.

Sepulang sekolah, hari sudah menjelang sore. Begitu tiba di rumah, Mauli bergegas turun dari mobil antar-jemput yang setiap membawanya pulang dari sekolah setiap hari. Mbok Nem menyambutnya dengan membukakan pintu.

Mauli langsung mandi dan melaksanakan Salat Asar. Dia mengenakan pakaian yang bagus dan menyisir rambutnya sendiri.

“Makan sekarang, Non Cantik?” Mbok Nem menawarinya makan.

Namun Mauli tidak berselera. “Belum lapar, Mbok. Makasih yaaa.. Mbok istirahat aja,” tolak Mauli halus.

Seperti biasa Papa tidak ada di rumah. Papa Mauli seorang reporter sebuah media massa nasional. Tugasnya meliput dan kemudian menulis berita. Jam kerjanya tak menentu. Tak jarang Papa pergi bertugas ke luar pulau, bahkan ke luar negeri.

Tapi pada sore hari begini, dia jarang ada di rumah. Enaknya, Mauli sering berangkat sekolah diantar Papa. Kecuali kalau Papa ada tugas peliputan pagi hari. Tapi pulangnya biasanya memang harus ikut mobil jemputan karena pada jam itu Papa sibuk mengejar deadline atau batas akhir menyetor berita ke kantor redaksi.

Mauli tidak punya ibu. Saat Mauli berusia 7 tahun, ibunya meninggal. Sejak itu hingga kini ketika Mauli berusia 10 tahun, Mauli hanya tinggal dengan Papa dan Mbok Nem, perempuan 50-an tahun yang setia membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Mbok Nem dulu bekerja pada eyang dari keluarga Papa.Dia yang mengasuh Papa waktu kecil. Kini dia ikut Papa dan mengasuh Mauli.

Mauli menunggu kedatangan Papa sambil membaca buku. Terdengar suara motor dan pintu pagar digeser oleh seseorang. Ciiiiittt…..

Mauli terhenyak. Mauli berharap itu Papa. Tapi kenapa suara motor? Kok bukan mobil? Mauli beranjak menuju ruang tamu. Dari balik jendela dia melihat Om Roy, adik Papa. Perasaannya tidak enak. Biasanya kalau Om Roy datang, itu untuk menemani di rumah, karena Papa mendadak ada tugas ke luar kota atau luar negeri.

“Assalaamu’alaikum!” seru Om Roy yang selalu ceria.

“Wa’alaikum salam,” jawab Mauli dengan nada kurang bersemangat. Mauli suka Om Roy datang. Tapi dia sebenarnya lebih berharap Papa yang datang.

“Kenapa keponakan Om manyun begitu? Ayo sambut kedatangan Om dengan senyum dong…” ujar Om Roy sambil menghempaskan badan di kursi tamu.

“Om.. Om Roy habis kuliah ya?”

“Enggak. Om Roy dari rumah.”

“Mau bobok sini ya?”

“Eh kok tau?” ucap Om Roy sambil mencomot kue kering yang tersaji di meja tamu.

“Papa ke luar kota?” tebak Mauli.

“Bukan luar kota, tapi luar negeri,” jawab Om Roy. “Eh tapi besok udah pulang kok. Cuma deket juga, ke Singapura,” sambungnya sambil mengunyah.

Mauli kecewa. Berarti janji membeli sepatu hari ini batal. “Kok Papa nggak bilang-bilang sih?” teriak Mauli. Dia merasa sangat jengkel.

“Karena tugasnya mendadak, Mauli sayang….,” kata Om Roy.

Mulut Mauli tambah manyun. “Papa jahat. Papa udah janji hari ini mau pergi beli sepau ballerina sama Mauli.”

“Kan bisa beli sama Om Roy,” rayu Om Roy.

Mauli malah makin cemberut. “Mauli maunya pergi sama Papa!” teriaknya sambil berlari menuju kamar. Mauli menangis.

Hingga pagi tiba, Mauli tetap berada di kamar. Begitulan Mauli kalau ngambek. Semalam bahkan terpaksa Mbok Nem menyiapkan makan malam di kamar.

Mauli bangun karena pintu kamar diketuk Mbok Nem. “Ayo, Non Cantik. Segera bangun dan Salat Subuh dulu. Hari ini mau pentas balet, kan?”

Mauli tidak menjawab.

“Nanti Om Roy antar ke tempat pentasnya!” seru Om Roy. Suaranya berasal dari ruang makan.

Setelah melaksanakan Salat Subuh dan mandi, Mauli menyusul omnya di ruang makan.

Om Roy sudah rapi. Om Roy memang selalu bangun pagi. Sepulang Salat Subuh berjamaah ke masjid dekat rumah, dia biasanya mengaji dulu, baru mandi dan sarapan. “Ngambeknya udahan dong, Cantik. Yuk makan.. Enak nih sayur oseng daging buatan Mbok Nem.”

Yang dipuji hanya tersenyum. Mbok Nem memang pintar memasak. Mauli pun tergoda. Walau sisa ngambek masih ada, dia tetap sarapan dengan lahap.

Setelah sarapan, waktunya berangkat ke tempat pentas. Pentas kali ini tidak biasa. Pentas tidak dilakukan di arena pertunjukan seperti sebelumnya, melainkan di panti asuhan. Kelompok balet di mana Mauli bergabung ingin menghibur anak-anak panti.

Sesampai di tempat yang dituju, Mauli tertegun. Tempat itu sangat sederhana, berupa bangunan mirip rumah biasa berbentuk U, namun lebih besar dan lebih luas. Ada taman terbuka di tengah-tengahnya. Seratusan kursi ditata di sana. Karena tidak beratap, sebuah terpal besar melindungi dari sinar matahari. Sisi kiri dan kanan bangunan adalah kamar-kamar. Dan bangunan paling pojok adalah semacam pendapa dengan atap menyerupai bangunan rumah Jawa kuno, yang kali ini berfungsi sebagai panggung. Di sanalah Mauli dan kawan-kawannya akan unjuk kebolehan menari balet.

Mauli datang kepagian. Belum ada teman ballerina lain yang muncul. Seorang petugas panti menyambutnya. Perempuan berjilbab yang berusia tigapuluhan tahun ini menggendong bayi.

“Yang mau pentas menari, ya?”

Om Roy yang menjawab, “Iya, Bu.”

“Mari saya antar ke ruang ganti, sambil menunggu yang lain.”

Mauli dan Om Roy mengikuti ibu itu.

“Saya Bu Nani, salah satu pengurus panti. Ini Kiki, lima bulan. Orangtuanya meninggal karena kecelakaan satu bulan yang lalu,” ujar Bu Nani memperkenalkan dirinya dan bayi yang digendongnya.

“Innalillahi wainna ilaihi raajiun,” ucap Om Roy spontan.

Mauli tercenung. Kasihan sekali Kiki.

Mereka terus berjalan, melewati anak-anak panti yang sedangmakan bersama di ruang makan yang besar. Satu meja dikelilingi sepuluh kursi. Lauknya sangat sederhana. Hanya sayur dan tempe. Ada empatpuluhan anak di sana. Sepuluhan anak di antaranya sebaya dengan Mauli. Selebihnya lebih kecil. Bahkan ada yang masih sangat kecil, mungkin baru berusia dua atau tiga tahun. Mereka dibimbing makan sendiri oleh anak yang lebih besar.

Mauli tercekat menyadari bahwa anak-anak itu tidak punya ayah dan ibu seperti Kiki. Dia merasa sangat beruntung. Walau mamanya sudah tiada, namun Papa masih ada dan sangat menyayanginya. Juga ada Om Roy dan keluarga lainnya yang secara bergantian datang dan mencurahkan kasih sayang kepadanya. Dia pun berdoa dalam hati, semoga Tuhan selalu melindungi anak-anak itu.

Beberapa saat setelah tiba di ruang ganti, langsung banyak kawan yang menyusul, termasuk juga guru balet Mauli, Miss Nadia yang aslinya dari Rumania. Dari kamar ganti terdengar suara ramai anak-anak panti menempatkan diri di kursi penonton. Satu jam berselang. Setelah acara dibuka, sambutan dan penyerahan bantuan secara simbolis, pentas balet pun dimulai.

Mauli dan kawan-kawannya menari dengan sepenuh hati, menghibur anak-anak panti yang cukup jarang melihat pentas balet. Pertunjukan berlangsung satu setengah jam, menampilkan beberapa repertoar. Mauli hanya terlibat satu repertoar saja yang terpanjang dan terakhir.

Tepuk tangan membahana setiap kali terlihat atraksi akrobatik dari penari balet. Tepuk tangan lebih membahana lagi setiap kali repertoar berakhir. Dan tepuk tangan panjang tak henti-hentinya berkumandang ketika pentas benar-benar diakhiri. Dari tempat pentas, Mauli melihat Papa ada bersebelahan dengan Om Roy ada di antara kursi penonton. Rupanya Papa sudah pulang dari Singapura dan langsung menuju panti asuhan.

Seusai pentas dan berganti pakaian, Mauli langsung berlari menghampiri Papa dan memeluknya.

“Papa ada sesuatu nih buat Mauli,” ujar Papa sambil menyerahkan kotak yang dibungkus kertas kado warna pink dengan pita senada, cantik sekali.

“Papa, Mauli kan nggak ulang tahun,” tukas Mauli.

“Buka aja….,” kata Papa sambil mengelus rambut Mauli yang masih digelung, khas ballerina.

Mauli memekik kecil. Bungkusan itu berisi sepatu balerina yang cantik sekali. Mauli kembali memeluk papanya. Papa telah memenuhi kedua janjinya: membelikan sepatu balet dan juga menonton pentasnya. “Terima kasih, Papa,” bisiknya.

Mauli sangat bahagia. Hingga tak terasa airmatanya menetes.***

NB: Untuk membaca Karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community Silahkan Bergabung juga  di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun