Mohon tunggu...
Niken Satyawati
Niken Satyawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ibu biasa

Ibu 4 anak, tinggal di Solo. Memimpikan SEMUA anak Indonesia mendapat pendidikan layak: bisa sekolah dan kuliah dengan murah. Berharap semua warga Indonesia mendapat penghidupan layak: jaminan sosial dan kesehatan. TANPA KECUALI. Karena begitulah amanat Undang Undang Dasar 1945.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(In Memoriam Rumongso) Guru Anti-Mainstream Itu Telah Tiada

20 Juli 2015   20:56 Diperbarui: 20 Juli 2015   20:56 3837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari tulisan-tulisannya di media massa yang jujur, idealis, berani dan tanpa tedeng aling-aling terkait berbagai isu, saya mulai mengenal sosok ini. Tak butuh waktu lama untuk saya terkesan, apalagi mengetahui bahwa dia adalah seorang pendidik. Pikir saya waktu itu, negeri ini akan menjadi keren bila para pendidiknya punya visi seperti dia.

Saya ditakdirkan berjumpa darat dengan sang penulis pada tahun 2010. Waktu itu saya sebagai pengelola baru lembaga pelatihan jurnalistik yang digagas sebuah media local di Solo, membuat undangan terbuka untuk alumni. Saya ingin mendengar masukan-masukan dari para alumni untuk kemajuan lembaga yang saya kelola.

Pria berpostur tinggi besar itu ada di antara yang hadir. Dialah Rumongso  a.k.a Pak Rum a.k.a Pak Among, penulis yang keren itu. Dari komunikasi interpersonal yang terjalin di pertemuan pertama, saya mengetahui bahwa kami mempunyai visi yang sama dalam banyak hal. Kami sama-sama mendambakan sekolah di mana anak akan selalu senang di dalamnya. Semua anak dipandang sebagai sosok yang unik dengan kelebihan masing-masing yang berbeda antara satu dengan lainnya. Semua anak adalah juara.  Anak akan merindukan masuk kelas dan saat libur tidak sabar ingin segera masuk sekolah karena mereka merasa nyaman di dalamnya.

Pertemanan di dunia nyata berlanjut dengan pertemanan di Facebook. Status-statusnya selalu menggelitik. Dua tahun berlalu, kami bertemu lagi saat saya undang dia menjadi pembicara dalam sebuah forum sarasehan tentang “Guru Plus, Guru Yang Menulis” di kantor saya. Tak lama setelah itu saya mundur dari pekerjaan. Namun takdir mempertemukan kami lagi saat saya mengantar anak saya, Maulida Naila Hanunaura (Hanun), mendaftar di SD Djamaatul Ichwan. Saat itu saya mengetahui bahwa SD Djamaatul Ichwan punya kelas program khusus. Ternyata Pak Rum yang membidani sekaligus menjadi koordinator pengelolanya. Singkat cerita, anak saya diterima dengan mulus.

Saat itulah Pak Rum menghubungi saya. Beliau melobi agar saya memindahkan anak ke program yang dikelolanya. “Semua konsep yang pernah kita diskusikan akan saya wujudkan di SD DjI Program Utama. Beri saya kehormatan untuk mendidik putri Ibu,” ujarnya merendah. Kemudian saya memutuskan memindahkan anak saya ke kelas yang dikelola Pak Rum, karena saya percaya sepenuhnya kepada beliau.

Pilihan saya tidak salah. Anak saya yang termasuk “sulit” benar-benar menikmati proses belajar mengajar dengan Pak Rum selaku koordinator guru sekaligus wali Kelas I. Semenjak hari pertama masuk sekolah hingga tahun pelajaran berakhir, hampir setiap hari saya bertemu sosok yang sabar dan menyenangkan itu, sebab saya sendiri yang mengantar dan menjemput anak saya ke sekolah.

Saat mengantar, Pak Rum selalu sudah berdiri di pintu gerbang sekolah, menyambut anak-anak didiknya dengan senyum lebarnya. Saat kelas usai, dia kembali berdiri di gerbang mengantar dan memastikan sahabat-sahabat kecilnya pulang dengan aman.  Tak jarang di sela mengantar dan menjemput, kami berbincang. Saya selalu ingin mendengarkan ceritanya tentang anak-anak. Ada-ada saja kisah yang lucu tiap hari.

Pak Rum selalu bercerita dengan penuh antusias. Dia memang tampak sangat menikmati dunianya. Dia datang paling pagi, dan pulang paling sore. Saat anak-anak libur, saya kadang lewat depan sekolah dan mendapati Pak Rum tetap bekerja. Suatu ketika, dia mengejutkan siswa-siswa Kelas I karena masuk kelas dengan cara menyamar sebagai kakek-kakek. Dia sengaja melakukan itu karena sedang membawakan tema “Keluargaku” yang ada di Kurikulum 2013.  Saya menuliskan cerita ini di Kompasiana. Demikianlah Pak Rum, guru yang penuh dedikasi. Pak Rum memang guru yang “berbeda”. Dia anti-mainstream. “Sekolah nggak asyik kalau nggak ada Pa Rum,” begitu anak saya Hanun cerita, ketika suatu saat Pak Rum tidak masuk karena sakit.

Saat pemilihan pengurus Forum Komunikasi Kesejahteraan Murid-Guru (FKKMG)—semacam komite sekolah, Pak Rum dan beberapa orangtua murid sengaja melakukan fait accompli alias memojokkan saya, hingga saya terpaksa menerima amanah sebagai ketua. Sejak itu saya pun terpaksa lebih sering berkomunikasi dengan Pak Rum. Kami saling mensupport untuk kebaikan sekolah dan anak-anak. Komunikasi saya dan Pak Rum jadi lebih intens.

Tak lama sebelum tahun pelajaran berakhir, kami sempat berbincang agak lama. Saya katakana padanya, bahwa peran dia sangat penting di sekolah. Saya minta dia menjaga kesehatan. “Tenang, Ibu. Saya habis melakukan general check up. Semua baik-baik saja kecuali kolesterol agak tinggi. Tapi tetap boleh makan Sate Man Gullit (warung sate dekat sekolah),” ujar dia bercanda. Saya pun lega.

Setahun berlalu. Tahun pelajaran berganti. Anak saya naik ke kelas II. Baru dua hari masuk, sekolah libur Lebaran. Tanggal 10 Juli 2015 adalah hari terakhir saya bertemu dia. Saat menjemput Hanun, saya sempatkan menyalami semua guru, mengucapkan selamat Lebaran dan sampai ketemu. Ternyata saya tak pernah bertemu lagi dengan Pak Rum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun