Mohon tunggu...
Niken Satyawati
Niken Satyawati Mohon Tunggu... Jurnalis - Ibu biasa

Ibu 4 anak, tinggal di Solo. Memimpikan SEMUA anak Indonesia mendapat pendidikan layak: bisa sekolah dan kuliah dengan murah. Berharap semua warga Indonesia mendapat penghidupan layak: jaminan sosial dan kesehatan. TANPA KECUALI. Karena begitulah amanat Undang Undang Dasar 1945.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sadinem Si Nenek Tangguh

28 November 2014   21:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:35 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Perempuan tua itu tampak cekatan melayani pembeli yang mencegatnya di pinggir jalan. Seusai memberikan kembalian, dia melanjutkan perjalanan, mendorong kembali gerobaknya. Sayup-sayup terdengar azan Zuhur. Dagangannya tinggal tersisa beberapa bungkus kerupuk, beberapa potong daging ayam dan tahu bacem. Sedangkan botol-botol jamu hampir kosong.

Namanya Mbah Sadinem. Usianya 75 tahun. Saya cukup sering berpapasan dengannya. Kawasan tempat dia berjualan keliling kebetulan dekat dengan tempat saya kulakan dagangan. Nenek yang tangguh ini tinggal di kampung Danukusuman, Solo. Dia setiap hari berjualan jamu, aneka lauk pauk dan makanan kecil. Orang Solo “hik”, yang kerap disebut singkatan dari hidangan istimewa kota.

Jam 05.00 WIB, dia dan suaminya sudah mulai berjualan. Aneka jamu dan masakan yang sebagian diolah sendiri digelar di rumah.  Sekitar jam 08.00 WIB, barulah Mbah Sadinem memindahkan sebagian dagangan ke gerobak. Lalu dia menjajakan barang dagangan itu keliling di Danukusuman, Gading, Gajahan  dan kembali  lagi ke Danukusuman. Lauk-pauk seperti tahu dan tempe yang dijual rata-rata dihargai Rp 500/potong. Kerupuk juga Rp 500 per plastik. Kalau ayam lebih mahal, beberapa ribu rupiah.

Seusai Zuhur biasanya dia sudah kembali di rumah. Di rumah, dia tetap berjualan. Suaminya yang jaga. Sore hari, barang dagangan kembali menumpuk. Sebagian hasil racikan Mbah Sadinem sendiri. Ada sejumlah tetangga yang ikut menyetor hasil masakannya, biasanya sudah dikemas kecil-kecil dengan plastik. Pembeli biasanya berdatangan ke rumah untuk membeli  dagangan buat makan malam.

Mbak Sadinem sudah 50 tahun berjualan seperti ini, sebagai sumber penghidupan. Dia punya dua anak. Satu jadi guru di luar Jawa. Yang seorang lagi menjadi sopir, dan tinggal tak jauh darinya. Walau sudah renta, Mbah Sadinem belum mau berhenti  jualan. “Saya masih kuat,” ujar dia.

Walau hasilnya tak seberapa, Mbah Sadinem bersyukur. Berkat dari hasil usahanya, dia bisa hidup tanpa bergantung anak-anak maupun orang lain. Lebih dari itu, dia juga bisa membantu biaya kuliah cucu-cucunya.

Saat harga BBM naik, Mbah Sadinem tidak terpengaruh. Harga barang dagangannya juga tidak dinaikkan. Dia pun tetap bekerja seperti biasa. “Saya hanya minta diberi kesehatan, agar bisa tetap jualan,” tandasnya.

14171601861681995978
14171601861681995978

Solo, 28 November 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun