Nasib baik sepertinya belum berpihak pada keluarga Alm.Wahid. Salah seorang warga yang rumahnya menjadi korban keganasan gempa Yogya pada tanggal 26 Mei 2006. Sebelum rumahnya selesai dibangun pasca gempa terjadi, pak Wahid justru meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Penderitaan pun tidak sampai disitu saja. Keluarga alm.Wahid yang dipastikan mendapat bantuan sebuah rumah dari pihak P2KP (Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan) senilai total Rp.20.000.000,- pun pada akhirnya harus terganjal masalah.
Permasalahan berawal ketika pihak kejaksaan Bantul mendatangi keluarga tersebut dan menyodorinya berbagai macam pertanyaan seputar bantuan dari P2KP yang diterima. Keluarga alm.Wahid yang diwakili oleh istri alm. yaitu ibu Haniah sempat merasa panik dan juga bingung. Maklum, sebagai warga golongan menengah kebawah mereka belum pernah berurusan dengan hukum apalagi pihak kejaksaan.
Kejaksaan sendiri memiliki alasan kuat untuk mendatangi warga dan mengintrograsi mereka berkaitan dengan bantuan dari P2KP yang diterima. Usut punya cerita, ternyata bantuan yang diberikan oleh P2KP memang dianggap bermasalah. Dugaan muncul berawal dari laporan salah satu anggota kejaksaan Bantul yang menyatakan bahwa ada penyelengan dana bantuan dalam P2KP. Berangkat dari dugaan tersebut, kejaksaan melakukan tinjauan ke setiap rumah yang dibangun oleh P2KP. Dari hasil tinjauan tersebut, diduga ada penyelewengan dan Rp 2juta - 4juta untuk tiap rumah. Saat ini proses penyelidikan telah menyeret dua nama yang dianggap sebagai tersangka, yaitu Budi Suprapto, S.Ag (35) dan Anang Subekti (38).
Untuk mendapatkan bantuan dari P2KP sendiri memang harus menempuh birokrasi yang cukup panjang. Dari hasil wawancara kami dengan Ali (...), kepala dusun Jejeran, gambaran yang lebih jelas mengenai masalah ini pun didapat. Pada awalnya ada beberapa sumber bantuan bagi warga yang rumahnya hancur karena gempa yang terjadi di Yogya. Ada bantuan Dana Rekontruksi yang berasal dari pemerintah pusat berupa uang tunai dengan jumlah nominal per KK (Kepala Keluarga) senilai Rp 15.000.000,-. Selain itu juga ada sumber bantuan berupa rumah jadi dari P2KP yang bekerja sama dengan World Bank senilai Rp 20.000.000,- per rumah. Untuk mendapatkan bantuan dari P2KP, dalam satu kecamatan hanya diberikan untuk 14 warga yang dianggap termiskin. Bagi kecamatan Wonokromo yang terdiri dari 12 dusun berarti masing-masing kepala dusunnya harus berlomba untuk mengajukan warganya yang dianggap layak mendapat bantuan tersebut. Ali selaku kepala dusun wilayah Jejeran pun mengajukan 4 nama pada awalnya dan hanya diterima 2 nama termaksud keluarga alm.Wahid.
Namun keterlibatan kepala dusun hanya sampai pada tahap pengajuan nama tersebut. Proses selebihnya ditangani oleh pihak P2KP langsung. Namun saat wawancara berlangsung, Ali menyatakan bahwa saat itu dia sempat mendapatkan dana dari P2KP sejumlah Rp 1.150.000,-. Bagi Ali dana tersebut dianggap sebagai bayaran untuk tenaganya yang selama ini membantu menangani barang-barang bangunan yang dikirim oleh P2KP ke wilayahnya. Namun saat diperiksa oleh kejaksaan, Ali diinstruksikan untuk mengembalikan uang tersebut secara utuh. Saat itu memang tidak muncul kecurigaan dalam diri Ali selaku kepala dukuh terhadap bantuan dari P2KP. Dalam benaknya saat itu yang terpenting adalah warganya mendapatkan bantuan berupa rumah untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Hingga Ali pun mengaku sangat terkejut ketika pihak kejalsaan juga mendatanginya untuk mengajukan beberapa pertanyaan terkait bantuan dari P2KP.
Mengetahui bahwa yang dinyatakann sebagai tersangka saat ini adalah Budi dan Anang, spontan Ali mengatakan bahwa Budi dan Anang adalah sosok orang-orang yang baik. Sehingga dia benar-benar tidak mengerti mengapa kedua orang tersebut bisa dinyatakan sebagai tersangka. Ibu Haniah, istri dari alm.Wahid salah satu warga yang mendapat bantuan dari P2KP pun terkesan tidak mau ambil pusing dengan permasalahan yang ada. Baginya sudah lebih dari cukup rumah yang telah dibangun dan ditempatinya beserta keluarga saat ini.
“ Yo piye maneh mba...kulo wong cilik ora ngerti apa-apa. Sing penting omah wis dadi bisa di panggoni.” tutur haniyah.
( “ ya gimana lagi mba...saya orang kecil yang tidak tahu apa-apa. Yang penting rumah sudah jadi dan bisa ditempati.” kata haniyah )
Proses penyelidikan di kejaksaan memang masing berlangsung hingga saat ini, kecurigaan akan adanya tersangka lain dan jumlah penyelewengan yang lebih besar memang terus bergulir. Namun berangkat dari peristiwa tersebut seharusnya menjadi pembelajaran bagi banyak pihak. Bagaimana sistematika yang lebih baik dalam penyaluran bantuan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan harus dicari jalan keluarnya. Terlebih saat ini Indonesia sedang mengalami berbagai bencana yang mengharuskan kita untuk lebih bisa bertoleransi dan bertanggung jawab atas amanah bantuan yang diberikan oleh masyarakat banyak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H