Beberapa waktu yang lalu  media online mengunggah berita tentang kedatangan timses (Tim Sukses) Pasangan Calon Capres dan Cawapres tertentu yang hadir di Bumi Papua. Tokoh tersebut mendapat sambutan dengan disematkan topi khas Papua. Topi unik nan cantik itu berhiaskan bulu-bulu burung terlindungi yaitu cendrawasih. Burung surga, demikian burung ini disebut sakng indah dan cantik bulu-bulunya. Lantas segala koreksi negatif muncul karena hal tersebut dianggap tidak mendukung pelestarian dan perlindungan terhadap hewan langka itu.
Masa-masa kapanye memang masa yang rawan. Banyak mata akan tiba-tiba menjadi pengamat. Banyak pihak akan saling mencari celah negatif dan meng-up di media sosial. Itulah kehebohan lima tahunan yang selalu muncul di negeri ini. Hal tersebut didukung dengan semaraknya penggunaan media sosial oleh hampir seluruh warga masyarakat. Semua orang tanpa pemilahan usia, strata ekonomi dan budaya bisa mengakses hal-hal tersebut.
Akan menjadi positif jika yang melihat memiliki dasar pemikiran yang matang. Mampu memilah mana yang benar, mana yang tidak benar. Namun yang justru banyak terjadi adalah kehadiran orang-orang yang seperti menemukan barang dagangan paling laku sehingga wajib menjualnya kemana-mana. Inilah pentingnya masing-masing memahami bahwa penghargaan dan penghormatan terhadap orang lain itu sangat perlu.
Dibukanya masa kapanye Pemilu 2024 baik untuk calon legislatif ataupun Capres dan Cawapres dilaksanakan mulia 28 November 2023 sampai dengan 10 Februari 2024. Waktu yang sangat panjang. Maka mari kita lihat di tempat atau lingkungan terdekat kita saja. Ketika anda semua keluar dari rumah melewati jalan-jalan menuju tempat kerja, atau tempat sekolah anak anda, menuju tempat ibadah, kemana sajalah. Bahkan jalan-jalan kampung, pinggir-pinggir sawah sudah bertebaran papan reklame, banner, stiker atau apa saja yang isinya adalah mengajak masyarakat atau kita memilih calon-calon tersebut.
Mari kita perhatikan, berapa banyak peraga kepanye yang berdiri tegak tanpa tanpa harus melukai pohon-pohon di sepanjang jalan dengan paku. Memang tidak hanya menjelang pemilu sudah terjadi seperti itu namun pada masa ini kejadian itu bisa meningkat drastis. Kita bisa hitung per 100m jalan, berapa alat peraga kapanye yang terpaksa dipakukan ke batang pohon.Â
Ibarat tubuh manusia, luka yang yang lama masih menancap ditambah luka baru. Memang tidak akan bermasalah langsung terhadat keberlangsungan hidup pohon tersebut. Namun bukankah mereka juga makluk hidup yang perlu mendapatkan perlindungan? Mereka memang tidak lantas mati tetapi harusnya sebagai calon pemimpin baik legislatif atau capres dan cawapres dan tim suksesnya bisa dong memberikan contoh yang baik.
Bagaimanakah caranya dan apakah ada yang mau seperti itu? Tidak melakukan pemakuan alat peraga kampanya ke batang pohon. Jawabannya tergantung komitmen mereka terhadap lingkungan. Di kotaku kebetulan ada sebuah lembaga pendidikan informal yang patut diacungi jempol. Mereka selalu memerintahkan kepada karyawan yang memasang pamlet, atau banner promosi dengan tidak menancapkannya di batang pohon dengan paku. Harusnya yang lain bisa juga dong. Mari tetap bijak dalam berperilaku terutama untuk terus berpihak pada lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H