Ibu  Novi, demikian aku menyapa beliau. Ibu dari salah satu murid di sekolahku. Kebetulan tahun ini anak pertamanya menjadi murid di kelasku. Seperti layaknya guru dan walimurid sering kali membicarakan perkembangan anaknya. Memutuskan menyekolahkan putranya di sekolah swasta adalah keputusan besar yang diambil keluarga ini. Mereka paham betul konsekuensinya, harus membayar SPP tiap bulan, Ada uang kegiatan untuk penyelenggaraan pendidikan. Semua masih berjalan mudah sebelum pandemi.Â
"Suami saya kerja di perusahaan mebel, Bu. Saya jualan makanan rumahan untuk bantu-bantu. Lumayan bisa buat nambah uang belanja." Ceritanya. Hal itu menjadi sesuatu yang baik dan menenangkan. Kemudian datanglah kisah pandemi. Cerita panjang nan dahsyat itu membuat semua berubah.
"Saya tidak bisa jualan lagi, Bu. Biasanya sambil menunggu Deva pulang sekolah, saya jajakan dagangan saya dan pasti habis. Puji Tuhan, banyak yang suka. Ada pepes tongkol, bothok, atau sayur. Kadang saya juga membuat nugget sendiri." Ibu dua anak ini tersenyum mengembalikan suka cita yang pernah ada. Kini semua berubah. Sekolah tak lagi ada murid, artinya tidak ada wali murid yang mengantar dan menjemput bahkan menunggui anaknya sekolah. "
"Selesailah kisah pendapatan saya, bu." Kenangnya.
Â
Â
Inilah kisahnya.
Ternyata belum usai kisah pilunya. Tiba-tiba suami saya terdampak covid, perusahaan tempatnya bekerja mulai goyah. Akhirnya kami harus terima, satu-satunya sumber kami terhenti. Suami kena PHK.