Menjadi Indonesia yang sesungguhnya. Itulah yang selalu kusampaikan kepada murid-muridku. Biasanya kuselipkan sedikit cerita perjuangan Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan bangsa ini. Bagaimana mereka harus mengangkat senjata di usia masih belia. Bagaimana mereka memiliki pemikiran jauh ke depan di usia muda.Â
Memang tidak mudah membandingkan, namun berharap mereka memahami betapa beratnya mendirikan negeri ini, itulah tujuan utamanya.
Mendidik anak-anak di sebuah sekolah dasar swasta katolik yang berdiri di suatu kota santri mempunyai sebuah kenikmatan tersendiri. Murid-murid kami terdiri dari beragam suku, agama dan tingkat sosial ekonomi yang beragam.
Seringkali saya menyebut bahwa sekolah kami ini adalah Miniatur Indonesia. Bagaimana tidak, di setiap kelas selalu diisi dengan anak. - anak dari beragam suku, agama dan tingkat sosal ekonomi.
Anak-anak di sekolah kami sudah belajar menghargai keberagaman sejak semula. Kami memberi ucapan selamat idul fitri kepada teman teman yang merayakannya. Hal itu dilakukan dengan penuh suka cita.
Demikian juga ketika ada teman-teman mereka yang Hindu, Budha, Konghucu, Kristen dan Katolik merayakan Hari besanya, mereka tanpa canggung menjabat tangan mereka dan mengucapkan selamat hari raya.
Kami tidak pernah meributkan soal iman (agama). Mereka mampu bekerja sama dengan baik. Mereka saling berbagi. Mereka menghormati perbedaan itu. Mereka sadar bahwa agama tidak untuk diperdebatkan tetapi dijalankan dengan benar. Kehidupan kebersamaan terasa sekali toleransinya.Â
Mengajak mereka untuk memahami arti keberagaman di negeri ini butuh waktu. Pertama yang harus dilakukan memanglah memberi teladan. Sekeras apapun guru mengajarkan mereka menjadi Indonesia, tidak akan ada gunanya, tidak akan mengakar jika tanpa keteladanan.