Mohon tunggu...
niken pramesthi
niken pramesthi Mohon Tunggu... -

aku adalah orang yang kekeh, berani dan suka tantangan...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Keragaman Informasi Terancam???

17 Februari 2010   03:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:53 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_75988" align="alignleft" width="298" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas)"][/caption]

Munculnya kembali Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Konten Multimedia oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi menuai kontroversi. Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa RPM ini dapat membahayakan kebebasan pers. Kekhawatiran itu merujuk RPM yang banyak memuat pasal-pasal yang bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Hal ini terlihat dari substansi RPM yang melarang penyelenggara internet untuk mendistribusikan konten yang diangap ilegal, yang tercantum pada pasal 7 hingga pasal 13. RPM juga mewajibkan penyelenggara memblokir serta menyaring semua informasi yang dianggap ilegal, serta membentuk Tim Konten Multimedia yang menjalankan fungsi seperti lembaga sensor.

Salah satu bab dalam rancangan peraturan menteri atau RPM tentang Konten Multimedia yang tengah dibahas di Kementerian Komunikasi dan Informatika memuat kewajiban penyelenggara layanan multimedia. Setiap penyelenggara wajib melakukan sensor terhadap semua konten yang ditampilkan sesuai Bab III Pasal 8. Pasal 8 huruf c,d,e,dan f Penyelenggara wajib memantau seluruh Konten dalam layanannya yang dimuat, ditransmisikan, diumumkan, dan/atau disimpan oleh Pengguna yang dilakukan dengan cara: c. Melakukan Penyaringan; d. Menyediakan layanan Pelaporan dan/atau Pengaduan; e. Menganalisis Konten Multimedia yang dilaporkan dan/atau diadukan oleh Pengguna; dan f. Menindaklanjuti hasil analisis atas Laporan dan/atau Pengaduan dari suatu Konten Multimedia. Untuk melakukan penyaringan konten multimedia ini, setiap penyelenggara juga diharuskan memiliki sistem elektronika khusus. Namun, tidak dirinci sistem seperti apa yang diwajibkan. Penyelenggara bahkan boleh bebas memilih sesuai kapasitasnya sesuai Pasal 10.

Pasal 10

(1) Penyaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c dilakukan dengan mengoperasikan Sistem Elektronik yang memiliki fungsi sebagai sarana Penyaringan menurut upaya terbaik Penyelenggara sesuai dengan kapasitas Teknologi Informasi, kapasitas finansial, dan otoritas yang dimilikinya. (2) Penyelenggara wajib memastikan bahwa Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) andal dan aman serta bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jika kewajiban tersebut tak dipenuhi, penyelenggara terancam sanksi dari menteri dari sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda, pembatasan usaha, hingga pencabutan izin. Sanksi tersebut diatur sesuai Pasal 30 sebagai berikut. Pasal 30 (1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada Penyelenggara yang melanggar Pasal 8; Pasal 9 ayat (3); Pasal 10 ayat (2); Pasal 11 ayat (3); Pasal 12 ayat (2); Pasal 13; Pasal 15; Pasal 16; Pasal 17; Pasal 18 ayat (1); ayat (2); Pasal 19 ayat (1); Pasal 29, atau Pasal 30. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan usaha, dan/atau pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. Pengaturan ini memicu kontroversi, baik di kalangan pengguna maupun penyelenggara media online. Kampanye penolakan terhadap RPM Konten Multimedia mulai ramai di dunia maya karena dianggap bisa mengekang kebebasan berekspresi seperti pada zaman Orde Baru. Haruskah penyelenggara konten wajib menyensor dan menerima ancaman sanksi untuk pelanggarannya?

Rancangan peraturan tersebut memuat lima pasal khusus soal larangan. Di antara larangan konten yang disiarkan melalui layanan multimedia antara lain konten pornografi, konten yang melanggar kesusilaan, informasi perjudian, merendahkan pihak lain, berita bohong, kebencian, SARA, pemerasan, kekerasan, dan privasi orang lain.

Jika merujuk pada hal-hal diatas, dimana larangan konten yang muncul adalah pornografi, konten yang melanggar kesusilaan, informasi perjudian, merendahkan pihak lain, berita bohong, kebencian, SARA, pemerasan, kekerasan, dan privasi orang lain, maka hal itu memang bagus. Tapi yang dikhawatirkan saat ini adalah penyalahgunaan sebuah aturan dimana tulisan-tulisan kritis untuk kebijakan pemerintah tidak akan lagi dimuat karena ketatnya lembaga sensor…

Banyak kalangan juga mendesak agar ide pembahasan RPM dihentikan, terutama yang berpotensi mempermasalahkan institusi pers.Bahkan muncul wacana bahwa RPM ini merupakan perpanjangan tangan Presiden untuk melindungi dirinya sehubungan dengan sejumlah berita yang dinilai merugikan dirinya. Namun hal itu langsung dibantah oleh pihak Kominfo dalam hal ini adalah Humas Kemenkominfo Gatot S Dewosubroto. Menurutnya , RPM muncul karena kepedulian pemerintah terhadap dampak negatif internet yang marak muncul akhir-akhir ini.

Sementara menurut Pengamat Komunikasi dari Universitas Semarang Senja Yustitia yang saya wawancarai pagi tadi (17/02) menyampaikan, jika RPM ini nantinya disetujui dan disahkan, maka keragaman informasi akan semakin minim.

Apakah kita juga akan berhenti menulis di kompasiana??? Kita tunggu kelanjutan RPM yg masih dibahas ini. (Dikutip kompas.com/Nik4)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun