Awal mula pembangunan benteng ini tidak lepas dari keinginan VOC untuk mengepakkan sayap di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat setelah mereka campur tangan dalam perjanjian Giyanti tahun 1755 antara Susuhunan Paku Buwono III dengan Pangeran Mangkubumi yang akhirnya bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Benteng Vredeburg konstruksinya sebenarnya mulai dibangun pada tahun 1767 tetapi awal mulanya benteng ini yang sangat sederhana sudah dibangun sejak tahun 1760 atas permintaan VOC dibawah pimpinan Nicholas Hartingh selaku gubernur dari direktur Pantai Utara Jawa. Kemudian atas usulan Gubernur W.H van Ossenberg pengganti Nicholas Hartingh bangunan benteng disempurnakan pada tahun 1767 dan dijadikan benteng pertahanan berbentuk bujursangkar dengan 4 bastion pada pojok-pojoknya. Pembangunan benteng ini diawasi oleh ahli bangunan yaitu Ir. Frans Haak. Pembangunan benteng ini selesali pada tahun 1787 dan sebenarnya diberi nama Rustenburg yang artinya peristirahatan. Tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa besar sehingga merobohkan sebagian bangunan benteng yang kemudian dibangun kembali namun diganti namanya menjadi benteng Vredeburg yang berarti benteng perdamaian.
Jika ditarik garis lurus di pulau Jawa ini maka Benteng Vredeburg akan  berada sejajar dengan benteng Vastenburg, Surakarta dan Benteng Van Der Wijk, Gombong. Sama seperti Vastenburg, benteng Vredeburg juga merupakan benteng pertahanan dan benteng yang digunakan untuk mengawasi keraton Yogyakarta pada masa kolonial.
Letak benteng dekat dengan titik 0 km Yogyakarta atau di seberang  Istana Kepresidenan atau lebih dikenal oleh masyarakat sebagai Gedung Agung yang biasa digunakan untuk singgah para pemimpin negara ketika berkunjung ke kota Yogyakarta. Utara benteng Vredeburg adalah pasar yang sangat terkenal yaitu pasar Beringharjo, sebelah selatan Benteng Vredeburg adalah Kantor Pos Besar Yogyakarta yang dibatasi oleh jalan Pangeran Senopati. Sebelah timur Vredeburg adalah Taman Pintar yang dulunya merupakan pemukiman orang-orang Belanda seperti yang kita lihat di daerah Kotabaru. Sama persis seperti Vastenburg, benteng Vredeburg bagian depan berupa pelataran dan taman yang tentunya lebih terawat. Benteng Vredeburg juga dikelilingi parit yang lumayan lebar dan pada masanya tentu parit ini tidak hanya seperti sekarang.
Menginjakkan kaki ke benteng Vredeburg memang sangat menarik bagi pecinta bangunan tua seperti saya. Memasuki pelatarannya saja sudah terasa aroma-aroma syahdu sejarah bangsa ini dibarengi dengan sapuan angin dari pepohonan yang menyejukkan jalan menuju benteng Vredeburg. Benteng yang  merupakan saksi bisu sejarah ini masih terawat sehingga kita bisa mengunjunginya hingga sekarang. Tiket masuk benteng Vredeburg sangat terjangkau yaitu sebesar Rp 2000 untuk wisatawan domestik dewasa, namun harga ini berbeda untuk wisatawan asing.
Ketika melewati gerbang benteng, akan disambut dengan miniatur tugu Jogja dan jalan berkonblok. Di dalam benteng ini terdapat ruangan-ruangan yang digunakan untuk diorama dan juga cafe bernama Indische Coffe. Untuk kafenya tidak buka sejak pagi seperti benteng, tetapi buka dari siang hari hingga malam. Diorama di dalam benteng Vredeburg ini saling berkaitan, mulai dari ruang sebelah selatan ada diorama 1 yang kemudian dilanjutkan ke diorama 2 di ruang sebelah utara. Ada juga meriam yang dipasang di depang ruang diorama 1 dibawah rimbunnya pepohonan. Ada patung-patung pejuang Indonesia, tentara Jepang dan para jenderal Belanda di depan ruangan diorama 1 dan diorama 2. Jika kita berjalan menuju pintu belakang benteng, kita akan menemukan patung 2 pahlawan nasional yang berdiri dengan gagahnya yaitu Jendral Soedirman dan Jenderal Urip Sumoharjo. Kedua patung ini seolah-olah ingin menggambarkan perjuangan bangsa untuk merdeka dari penjajahan. Â
Kembali lagi ke diorama 1, di dalamnya terisi perjuangan para pahlawan dari masa perang Diponegoro, berdirinya Taman Siswa, penobatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan perjuangan beliau untuk melindungi rakyat Yogyakarta pada saat romusha (penjajahan Jepang). Di ruangan ini banyak sekali kita temukan mengenai perjuangan sebelum kemerdekaan Indonesia yang dilengkapi dengan peninggalan-peninggalannya. Di dalam ruangan diorama 1 ini ada bantuan penjelasan yang disajikan di LCD yang bisa kita sentuh untuk melihat penjelasan sejarah yang kita inginkan. Selain itu AC di dalam ruangan ini membuat saya betah berlama-lama dalam mengamati diorama dan peninggalan-peninggalan para pahlawan.
Masuk ke ruangan diorama 2 yang berisi perjuangan setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Perjuangan ini berupa melucuti persejataan tentara Jepang, pemulangan tahanan perang Belanda melalui stasiun Tugu dan Agresi Militer Belanda I serta Agresi Militer Belanda II. Dari diorama 2 ini ada ruangan sebelah yang melanjutkan ke diorama 3 yang berisi sejarah bangsa Indonesia setelah merdeka dan disini ada games yang bisa dimainkan di dalam layar lcd tv agar kita lebih bisa memaknai sejarah. 2 layar disediakan di ruangan ini dengan 2 game yang berbeda, game yang pertama mengingatkan kita tentang agresi militer belanda dan game kedua mengenai pengenalan pahlawan atau tokoh nasional beserta atribut yang diminta oleh game tersebut. Â Setelah selesai di diorama 3, lanjut menuju diorama 4 yang gedungnya ada di pojok utara dan terpisah dari diorama 3. Pintu ruangan ini selalu tertutup karena di dalamnya memang berAC. Di dalam diorama 4 banyak peninggalan berupa seragam tentara Indonesia pada masanya, pembentukan PMI dan berbagai prestasi Indonesia setelah kemerdekaan.
Selesai berkeliling di dalam ruang berAC dilanjutkan dengan mengelilingi ruangan-ruangan yang terlihat bergitu tertata rapi. Yang paling saya suka adalah naik tangga kemudian duduk di atas benteng tempat pengintaian yang memang  sudah disediakan kursi  dan menikmati angin sepoi-sepoi dibawah pohon kapuk (bahasa jawa : randu). Pada masanya disini merupakan tempat pengintaian karena di pojoknya terdapat tempat tentara berjaga-jaga. Berjalan sedikit ke barat akan disuguhi dengan ruangan pemutaran film yang ternyata terkunci karena saat saya berkunjung memang tidak ada pemutaran film di ruangan tersebut. Warna abu-abu berpadu putih ini sangat kental dengan bangunan kolonial dan seperti ciri khas bangunan kolonial.
Turun kebawah kemudian melanjutkan menuju taman benteng Vredeburg melalui pintu besar dengan bagian atasnya melengkung dan saya yakin pintu ini masih asli karena besinya begitu berat ketika saya dorong. Taman benteng Vredeburg bersih, dilengkapi dengan kolam ikan dan jalan setapak. Ketika saya berkunjung disana, saya menemukan beberapa petugas kebersihan sedang menyapu taman dan ada juga yang sedang beristirahat dibawah pohon rindang. Ada beberapa pohon yang merupakan tanaman baru, sedangkan pohon yang tertua saya kira adalah pohon kapuk (randu) yang menjulang tinggi  hingga tempat saya duduk diatas benteng tadi.
Ada seorang teman saya mengatakan bahwa ketika kamu mengunjungi bangunan bersejarah itu merupakan salah satu bentuk kepedulian terhadap sejarah bangsa ini. Ya memang Jas Merah ungkapan Bung Karno harus diresapi dan dilaksanakan. Jangan sekali-kali melupakan sejarah dan ayo ke museum untuk lebih mengenal mengenai sejarah bangsa Indonesia tempat kita dilahirkan dan dibesarkan ini.