Dalam upaya memahami lebih dalam mengenai Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang baru, LSO Tax Canter Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan webinar nasional bersama Dedi Kusnadi S.T., M.Si selaku Penyuluh Pajak Ahli Madya Kanwi DJP Banten sebagai pemateri dalam webinarnya yanng bertema
"Menganalisis Implikasi Kebijakan Perubahan Pajak Terbaru dengan Menggali Dampak dari Kenaikan PPN 12% di Era Pemerintahan 2025"
Mengapa PPN mengalami kenaikan sebesar 12% pada tahun 2025?
Di dalam webinarnya Dedi menyebutkan bahwa kenaikan pajak yang sebelumnya sebesar 11% yang dimulai sejak 1 April 2022 akan mengalami kenaikan sebesar 12% yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025 ini disebabkan karena c-eficiency. C-Efficiency di sini merupakan besaran pajak pertambahan nilai yang yang bisa dikumpulkan dari potensi. Di mana Indonesia mampu mengumpulkan potensi itu sebesar 63,58% dari 100% hal ini terjadi karena:
- Adanya barang dan jasa yang belum masuk ke dalam sistem sebelum adanya pengaturan di UU Perpajakan baru yaitu Undang-Undang Harmonisasi Pajak Pertambahan Nilai (UUHPP) seperti barang kebutuhan pokok dan jasa-jasa tertentu, dengan adanya UU baru ini semua barang dan jasa itu adalah barang kena pajak dan jasa kena pajak, hal ini dilakukan agar barang dan jasa tersebut dapat masuk ke dalam sistem dan bisa memonitoring bagaimana perkembangannya.
- Selain agar masuk sistem, non BKP dan non JKP dirubah menjadi BKP dan JKP ini dilakukan untuk memperluas basis perpajakan
- Tingginya tax expenditure (biaya pajak), yag berarti pemerintah mengeluarkan biaya yang sebenarnya dia adalah potensi pajak yang melalui insentif dan fasilitas. Tax expenditure ini memiliki nilai sebesar 65% dari total tax expenditure pada tahun 2019, hal ini memiliki nilai terbesar daripada dengan pajak penghasilan.
Dalam webinarnya dedi mengambil contoh kinerja PPN Indonesia pada tahun 2018. Beliau menyebutkan bahwa kinerja PPN di Indonesia ini digunakan untuk menentukan kebijakan dalam Undang-Undang Harmonisasi Pajak Pertambahan Nilai (UUHPP) yang disahkan pada tahun 2021 dan kemudian berlaku pada tahun 2022.
Saat ini tarif PPN di Indonesia adalah 10%, sementara negara-negara lain memiliki tarif yang berbeda, seperti Singapura 7%, Malaysia 6%, Filipina 12%, dan Thailand 7%. Rata-rata tarif PPN di negara-negara lain adalah sekitar 18%. Namun jika dilihat dari sisi c-efficiency, Indonesia memiliki angka 63,58% sementara Singapura 92,69%, dan Thailand yang memiliki kinerja PPN yang tertinggi, yaitu sebesar 113,83%.
Thailand disini memiliki c-efficiency yang lebih tinggi yang seharusnya maksimalnya adalah 100% karena produk-produk pertanian di negaranya dikenakan PPN, sementara di Indonesia produk pertaniannya tidak dikenakan PPN. Apabila dilihat secara grafik, maka Indonesia akan berada di tengah-tengah dan tidak terlalu rendah, namun jika dilihat dalam c-efficiency berarti masih belum maksimal.
Kontribusi Sektoral Terhadap PDB dan PPN DN
Di dalam webinarnya Dedi mengatakan bahwa terdapat beberapa sektor yang memiliki kontribusi yang sangat rendah, di mana sektor-sektor tersebut seperti pertanian, pembangunan, jasa keuangan, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.
“Untuk menghitung PPN basis utama yang digunakan adalah Produk Domestik Bruto (PDB). PDB ini adalah apa yang dikonsumsi oleh masyarakat kalau ada konsumsi maka ada pertambahan nilai. Apabila PDB tidak ada maka PPN juga tidak akan ada, karena basis PPN adalah konsumsi atas barang dan jasa.” Ujar Dedi
Beberapa sektor di Indonesia menyumbang Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang signifikan, namun kontribusinya terhadap PPN masih relatif rendah dibandingkan sektor lainnya. Misalnya, sektor pertanian yang menyumbang 13,6% terhadap PDB, namun hanya memberikan 1,7% dari total PPN.