“Pernikahan itu menakutkan.” Kalimat ini bukan hanya pernyataan yang sering melintas di kepala generasi muda, tetapi juga menjadi viral di media sosial, menandakan rasa cemas yang meluas tentang ikatan jangka panjang. Di balik imaji indah tentang "happily ever after," realita pernikahan bagi banyak orang justru dipenuhi ketidakpastian, cerita perceraian yang menghantui, atau bahkan ketakutan akan kehilangan diri dalam peran baru sebagai pasangan hidup.
Namun, apakah ketakutan ini benar-benar masuk akal? Atau mungkin kita hanya terjebak dalam narasi yang terlalu berlebihan? Dalam artikel ini, kita akan mengupas mengapa pernikahan bisa terasa begitu mengerikan di mata sebagian orang, dan apakah benar bahwa institusi pernikahan membawa lebih banyak momok ketimbang makna bahagia. Yuk, kita telusuri—apakah pernikahan seburuk itu, ataukah ketakutan kita yang membuatnya tampak demikian?
Di era yang serba modern, pernikahan semakin sering dipandang sebagai komitmen yang menakutkan. Generasi muda, khususnya Milenial dan Gen Z, seolah dilanda gelombang kecemasan tentang pernikahan. Ketakutan ini tidak muncul begitu saja; ia dibentuk oleh beragam faktor sosial, finansial, dan emosional yang saling berkelindan. Tapi, seberapa masuk akal sebenarnya ketakutan ini?
1. Ketakutan Finansial
Pernikahan sering dikaitkan dengan tanggung jawab finansial yang besar, dan itu menjadi perhatian utama banyak pasangan muda. Menurut data dari The Knot, biaya rata-rata pernikahan di Amerika Serikat pada tahun 2023 mencapai sekitar $30.000. Belum lagi, ada tekanan tambahan untuk membeli rumah, merencanakan masa depan anak-anak, dan stabilitas keuangan jangka panjang. Bagi generasi yang tumbuh di tengah krisis ekonomi global dan melonjaknya biaya hidup, kecemasan ini terasa sangat nyata.
2. Pengaruh Media Sosial
Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat persepsi negatif tentang pernikahan. Kisah-kisah perceraian, drama rumah tangga, atau cerita pengkhianatan menjadi viral dan membuat gambaran pernikahan terlihat suram. Satu studi yang dipublikasikan oleh American Psychological Association menyebutkan bahwa paparan konten negatif secara terus-menerus dapat meningkatkan rasa takut dan kecemasan. Akibatnya, generasi muda menjadi skeptis terhadap janji pernikahan yang bahagia.
3. Trauma dan Pengalaman Masa Kecil
Banyak dari mereka yang takut menikah memiliki pengalaman pribadi yang kurang menyenangkan, seperti melihat perceraian orang tua atau menyaksikan hubungan yang penuh konflik. Menurut sebuah penelitian oleh Journal of Marriage and Family, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga yang bercerai cenderung lebih skeptis terhadap pernikahan dan lebih cenderung menunda atau menghindarinya. Trauma masa kecil ini bisa menciptakan rasa tidak percaya pada institusi pernikahan.
4. Ketakutan Akan Kehilangan Kebebasan Pribadi
Bagi Gen Z, kebebasan dan individualitas adalah nilai yang sangat penting. Ide bahwa pernikahan bisa mengubah identitas atau mengekang kebebasan pribadi menjadi salah satu ketakutan terbesar. Sebuah survei oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa 56% dari orang dewasa muda percaya bahwa pernikahan dapat membatasi otonomi mereka, membuat mereka lebih enggan untuk berkomitmen dalam jangka panjang.
5. Perubahan dalam Definisi Bahagia
Generasi sekarang semakin memprioritaskan kebahagiaan pribadi dan kesehatan mental. Pernikahan yang di masa lalu dianggap sebagai tujuan akhir kebahagiaan hidup kini tidak lagi relevan bagi sebagian orang. Harvard Study of Adult Development, salah satu studi terpanjang tentang kebahagiaan, menemukan bahwa kualitas hubunganlah—bukan status pernikahan—yang paling penting untuk kesejahteraan. Artinya, orang kini lebih memilih hubungan yang sehat dan bahagia, terlepas dari apakah itu di dalam atau di luar pernikahan.
Tapi, Apakah Semua Ini Membuat Pernikahan Seburuk Itu?
Meskipun rasa takut akan pernikahan terasa wajar, ada sisi lain dari cerita ini. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pernikahan yang sehat dapat meningkatkan kesejahteraan, memperpanjang harapan hidup, dan bahkan mendukung pertumbuhan finansial bersama. Kuncinya adalah membangun hubungan yang didasari komunikasi yang kuat, saling menghormati, dan pengelolaan harapan yang realistis.
Ketakutan terhadap pernikahan mungkin terlihat seperti respons yang berlebihan di tengah dunia yang terus berubah. Tetapi ketakutan ini juga memberikan ruang untuk refleksi mendalam tentang apa yang benar-benar kita inginkan dalam hubungan dan kehidupan kita. Apakah pernikahan benar-benar menakutkan, ataukah kita hanya perlu mengelola harapan dengan lebih bijak?
Pernikahan memang memiliki risiko, tetapi juga menawarkan peluang besar untuk pertumbuhan dan kebahagiaan, selama didasari oleh fondasi yang kuat dan sehat. Seperti kata pepatah, “Takut pada masa depan tidak akan mengubah apa yang akan datang, tetapi keberanian bisa mengubah cara kita menjalaninya.” Maka, sebelum menilai pernikahan sebagai sesuatu yang menakutkan, penting untuk bertanya pada diri sendiri: apa yang sebenarnya kita cari dalam sebuah komitmen?
“Love is a risk, but living without love is the greatest risk of all.” – Leo Buscaglia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H