Tulisan ini adalah kelanjutan dari reportase sebelumnya. [caption id="attachment_197940" align="aligncenter" width="500" caption="Yunoko lake"][/caption]
Dengan hati masih mendongkol aku pun akhirnya memilih jalur lain, menelusuri tepian danau Yunoko. Di bulan April itu separuh bagian dari danau masih membeku. Jalan setapak yang melewati hutan itu pun juga masih tertutup salju setinggi mata kaki. Ku-cek HP, tidak ada sinyal. Sejauh mata memandang tidak ada orang lain pun di hutan itu selain aku. "Bagaimana kalo ada beruang..atau serigala? Bisa-bisa gak ada orang yang tahu aku mati di sini.." pikirku. "Aah...di sini masih musim dingin, beruang dan serigala pastilah sedang berhibernasi." tepisku menghibur diri.
[caption id="attachment_197941" align="alignnone" width="600" caption="Yunoko lake (2)"][/caption]
2 jam berjalan menelusuri hutan di sepanjang bibir danau, akhirnya aku tiba di sebuah jeram yang berujung pada sebuah air terjun yang sangat cantik, 'Yudaki '. Dari kejauhan aku melihat anak tangga yang mengarah ke bawah air terjun, aku pun segera menyambutnya. Menuruni anak tangga, langkahku beberapa kali terpeleset, licin sekali. Dengan berhati-hati aku menjaga agar tidak sampai jatuh. Separuh jalan, alangkah kagetnya ketika aku melihat bahwa sisa anak tangga di depanku masih tertutup es hingga ke bawah sana. "Bagaimana ini? Maju tidak mungkin, mundur juga sulit.." Tak mau celaka, aku berusaha untuk kembali naik, mendaki anak tangga yang sangat licin itu. Berkali-kali aku memekik karena nyaris terpeleset. "Ya Allah... berikanlah hambaMu keselamatan dan kekuatan.." aku berdoa dalam hati.
Sesampainya di puncak anak tangga, aku menghela nafas lega, Alhamdulillah... Aku pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke jalan raya, "Kemungkinan celaka lebih kecil", pikirku. Sekitar setengah jam menyusuri jalan turun, aku pun akhirnya tiba di kaki air terjun. Di sana ada sebuah restoran kecil yang baru saja buka. Setelah nyaris celaka, perut ternyata terasa sangat keroncongan. Segera aku memesan seporsi dango (jajanan yang terbuat dari tepung kanji yang kenyal dan disiram saus shoyu manis, seperti gula merah) dan coklat panas. Setelah puas menikmati keindahan Yudaki aku pun melanjutkan perjalanan.
[caption id="attachment_197944" align="aligncenter" width="550" caption="Yudaki falls"][/caption]
Tengah hari, setelah berjalan tak kurang dari 3 jam, aku pun mulai letih. Beberapa ratus meter di depanku terlihat ada halte bus. Kakiku mulai terasa ngilu, aku pun memutuskan untuk naik bus ke tujuan berikutnya, padang Senjogahara.
Sekitar setengah jam menuruni gunung dengan bus, aku tiba di Senjogahara, sebuah padang (yang dalam bayanganku) bertanah basah, mulai menghijau ditingkahi suara burung itu ternyata masih kuning, kering kerontang. Demi mengendapkan pikiran yang dongkol kuadrat, aku pun menyusuri padang kerontang itu untuk beberapa saat sebelum kemudian duduk terdiam. Di depan mataku padang kuning dan pepohonan menghampar. Di bawah kakiku, tunas paku-pakuan mulai terlihat menyembul dari balik tumpukan salju yang hampir mencair, nampak lemah namun menyimpan harap akan kehidupan di musim-musim selanjutnya. "Haru no yokan (spring premonition), musim semi akan segera datang." pikirku.
[caption id="attachment_197956" align="alignnone" width="600" caption="Senjogahara Marshland (kiri atas), tunas-tunas paku (kanan bawah)"][/caption] Di keheningan, in the middle of nowhere, aku merasa begitu dekat dengan alam. Mungkin beginilah hidup seharusnya, tak hanya dihabiskan untuk duduk di ruangan, dikelilingi hutan baja gedung pencakar langit, berpindah-pindah hanya dengan berkendara. Ketika segalanya telah menjadi mudah dan serba cepat, kita pun lupa untuk mengapresiasi hal-hal sederhana seperti ini. How life sprung out from the its deep sleep during the winter, to rush and welcome the joy of spring. Dari Senjogahara aku terus berjalan menuruni gunung, beberapa kali nyasar demi menemukan tujuanku berikutnya, air terjun 'Ryuzu ' (yang seharusnya) sangat cantik di musim semi. Ryuzu sangatlah anggun, derasnya air menuruni jeram , membelah bebatuan dan turun ke sungai dari dua sisi. Aku hanya bisa membayangkan betapa cantiknya jika tetumbuhan dan bunga-bunganya di sekitarnya sudah bersemi. [caption id="attachment_197993" align="alignnone" width="600" caption="2 sisi Ryuzu "][/caption] Puas menikmati keindahan Ryuzu, aku melanjutkan perjalanan. Menjelang sore hari aku akhirnya tiba di Oku-Nikko yang ramai oleh turis. Di sana terdapat salah satu air terjun tertinggi di Jepang, 'the great Kegon falls'. Dari pintu masuk, kami menuju sebuah ruangan yang dilengkapi dengan elevator. Dengan kapasitas 10 orang, elevator itu adalah satu-satunya akses ke air terjun. Yang tidak aku sangka, elevator itu ternyata membawa kami turun, 100 meter menembus lapisan batuan dasar di bawah jalan raya. Keluar dari elevator, suara derasnya air telah terdengar. Di depanku, air terjun Kegon berdiri dengan gagahnya. Dengan ketinggian 97 m, air terjun ini konon adalah lokasi yang cukup terkenal untuk bunuh diri. Haa? Bunuh diri? Yep. Penyair Jepang di akhir abad-19, Misao Fujimura, adalah salah seorang figur terkenal yang diingat karena syair terakhirnya yang dibuat sesaat sebelum ia menerjunkan diri dari puncak air terjun. Sungguh kisah yang tragis. [caption id="attachment_197975" align="aligncenter" width="550" caption="Kegon, salah satu air terjun tertinggi di Jepang"][/caption] Setelah puas mengambil foto di Kegon, akupun tiba di tujuan terakhir, danau Chuzenji. Ketika tiba di sana, matahari telah hampir tenggelam. Tak terasa aku telah menghabiskan waktu tak kurang dari 7 jam berjalan kaki. Suasana Danau Chuzenji di sore hari sungguh mengingatkanku pada telaga Sarangan di Magetan, Jawa Timur. Diapit barisan pegunungan dan disinari hangat matahari sore, duduk di tepi danau Chuzenji menelusupkan rasa damai dan tenang. Segala perasaan dongkol dan penat pun hilang ketika menyaksikan pemandangan sore itu. In the end, it was all worthwhile. [caption id="attachment_197976" align="alignnone" width="600" caption="Danau Chuzenji dan gerbang Torii (kanan bawah)"][/caption] Danau Chuzenji menutup rangkaian perjalananku di hari kedua di Nikko. Tak ingin pulang berjalan kaki, aku pun naik bus menuju kota. Ketika aku tiba di stasiun, waktu telah menunjukkan pukul 7 malam di pusat kota. Pertokoan pun mulai tutup. Untunglah sebuah kedai Udon (mie khas Jepang yang berbentuk gilig panjang) terlihat masih buka. Saking laparnya, aku menghabiskan 1,5 porsi Udon ukuran besar. Hati senang perutpun kenyang, aku pun melenggang santai kembali ke penginapan. Sehari petualangan seru di Gunung Nantai adalah pengalaman tak terlupakan. I left a piece of my heart at the sun-lit water of Chuzenji lake.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H