Langkahku membeku, dingin menggigit. Di depanku adalah jalan setapak yang masih tertutup salju setinggi lutut. Di depan maupun belakangku tak terlihat satu orang lain pun. Apa yang harus kulakukan, terus atau kembali? ------------------------------------ "Terimakasih atas email dan telepon anda. Kami telah menyiapkan satu kamar selama 2 malam untuk anda. Hari ini Nikko sedikit bersalju, mungkin anda sebaiknya menyiapkan mantel tebal. Sampai ketemu di Nikko.." Begitulah email konfirmasi yang kuterima setelah booking penginapan "Rindou no ie" melalui internet. 2 hari lagi aku akan pergi ke Nikko untuk liburan musim semi. Cuaca di Toyohashi sudah berangsur-angsur menghangat, "ah..paling di sana tidak seberapa dingin.." pikirku. Aku sudah menyiapkan peta rute hiking yang ku-download di internet sambil menyusun rencana perjalanan. Tengah malam itu, aku dan seorang teman berangkat dengan kereta Moonlight Nagara ke Tokyo dengan tiket murah 'juuhachi kippu '. Kami terlambat booking tempat duduk dan terpaksa harus menggigil kedinginan di sambungan gerbong selama 1,5 jam. Setelah beberapa penumpang turun, barulah ada tempat kosong yang bisa kami duduki. Pagi hari pukul setengah 6 pagi kami tiba di Tokyo. Setelah membeli tiket terusan di stasiun Asakusa, kamipun berpisah. Jam 9 pagi aku bertolak ke Nikko sendirian. Nikko adalah kota kecil yang terletak di prefektur Tochigi. Berjarak sekitar 150 km dari Tokyo, Nikko sudah terkenal sejak jaman Heian (abad ke-8 M) sebagai tempat ziarah yang terkenal keindahan alamnya. Dari tempat tinggalku saat itu, Toyohashi, tak kurang dari 9 jam harus kutempuh dengan kereta untuk mencapai Nikko. Sekitar pukul jam setengah 12 aku sampai ke Nikko Tobu stasiun. Setelah menaruh barang di penginapan dan makan siang, aku segera berangkat untuk menyusuri objek wisata di seputaran kota. Untuk hari pertama aku berencana untuk mengunjungi kuil Toshogu yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Shogun Tokugawa Ieyasu, figur yang sangat berpengaruh dalam sejarah Jepang. Di abad ke-16 ia memenangkan perang akbar antar klan di padang Sekigahara. Ia pun naik sebagai pemimpin militer (shogun) dan mendirikan Tokugawa Shogunate yang berhasil menjaga perdamaian dan stabilitas politik di Jepang selama 250 tahun. [caption id="attachment_197932" align="alignleft" width="300" caption="Shinkyo bridge"][/caption] Masuk ke kompleks kuil, tiket terusanku pun dicap untuk pertama kalinya. Karena masuk ke dalam UNESCO World Heritage Site, tiket masuk ke dalam kompeks kuil ini cukup mahal, sekitar 1300 yen. Tiket terusan sangat bermanfaat karena dengan harga sekitar 4500 yen, itu sudah mencakup tiket masuk ke situs-situs bersejarah berikut sebagian besar transportasi (bus dan kereta) di seputar Nikko selama 3 hari. Kalau beli tiket lepasan bisa-bisa bangkrut. Kuil yang dihiasi dengan ukiran rumit ini terletak di tengah hutan. Tidak seperti kuil lain di Jepang yang mengedepankan simplicity, kuil Toshogu sangat kaya akan detail dekorasi. Beberapa feature bangunan adalah pagoda lima lantai, Gojunoto; Karamon dan Yomeimon gate yang dihiasi oleh tak kurang dari 500 ukiran bunga, binatang, dan manusia; ukiran tiga monyet bijaksana, San-saru, 'see no evil, speak no evil, hear no evil'. [caption id="attachment_197870" align="aligncenter" width="320" caption="Gojunoto, pagoda 5 lantai di kompleks kuil Toshogu"][/caption] [caption id="attachment_197873" align="aligncenter" width="500" caption="Yomeimon Gate, yang dihiasi dengan ukiran rumit"][/caption] [caption id="attachment_197880" align="aligncenter" width="500" caption="San-saru, tiga monyet bijaksana"][/caption] [caption id="attachment_197883" align="aligncenter" width="500" caption="Botanical garden (kiri) dan bunga-bunga plum (kanan)"][/caption] Setelah puas mengitari kompleks kuil dan botanical garden aku mengakhiri perjalanan untuk hari pertama. Aku kembali ke hostel sebelum gelap. Malam itu dingin sekali. Aku tidak menyangka bahwa Nikko masih sedingin itu di awal bulan April. Setelah mandi air panas dan makan malam, aku bergelung di dalam futon berselimut tebal, hangatnya pemanas ruangan perlahan-lahan melarutkan kesadaranku ke alam mimpi. Pagi itu aku bangun dengan semangat baru. Dengan peta hiking di tangan, aku begitu bersemangat untuk menjelajahi Gunung Nantai dan Oku-Nikko. Jam setengah 7 pagi aku tiba di stasiun, segera aku naik bus pertama yang menuju ke arah Yumoto-onsen, sebuah resort pemandian air panas yang terletak di puncak Gunung Nantai. Dari Yumoto area, aku berencana untuk trekking menuruni gunung, melintasi taman nasional dan melewati berbagai wisata alam. Ketika naik bus, tiket terusanku dicap untuk yang kedua kalinya. Hanya 3 orang penumpang bus itu. Salah seorang pegawai kantor pos turun 15 menit kemudian. Seorang guru sekolah dasar menyusul turun 20 menit berikutnya, hanya aku dan pak sopir yang ada di dalam bus itu. Beberapa kali aku melihat dia melirik melalui kaca spionnya. Aku heran, "Mengapa tidak ada orang lain yang berangkat hiking selain aku? Bukankah taman nasional Nikko terkenal dengan hiking dan trekking trail-nya yang sangat indah?" keraguan itu kutepis jauh-jauh. Aku sudah menempuh tak kurang dari 9 jam untuk menuju ke tempat ini, aku tidak mau kembali dengan tangan hampa. Bus meliuk-liuk melintasi pinggang gunung di jalur Irohazaka yang terkenal dengan 50 kelokannya. Di sepanjang jalan hutan terlihat masih meranggas. Ternyata hangat musim semi belum lagi menyentuh tanah pegunungan. Dari kejauhan awan salju masih terlihat tebal menggantung, "pertanda buruk.." pikirku, tapi aku bertekad tidak akan mundur. Perjalanan naik ke gunung Nantai dengan bus memakan waktu sekitar 1,5 jam. Sekitar jam 9 aku tiba di Yumoto-onsen area. Ketika aku turun, semua pertanyaanku terjawab seketika. [caption id="attachment_197891" align="alignleft" width="300" caption="Dead end, hiking trail tertutup salju"][/caption] Di mana-mana, salju masih menumpuk setebal tak kurang dari 50 cm. Tourist information untuk para trekker pun tutup. Dari kejauhan aku masih melihat sekelompok anak-anak berangkat untuk pergi main ski. Aku pun tersentak. Tak salah lagi...aku salah musim!!! Dengan perasaan yang dongkol aku pun nekat mencari hiking trail yang ada di peta. Sial, jalur resmi itu masih tertutup salju setinggi satu meter. Dengan hanya memakai sepatu keds, celana kargo dan jaket tebal, tidak mungkin aku nekat menembus medan itu, terlalu berbahaya. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari jalur yang lebih mudah, melintasi tepian danau Yunoko. Bersambung ke bagian 2.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI