Mohon tunggu...
Niji No Saki 1107
Niji No Saki 1107 Mohon Tunggu... -

benci shopping mall

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Meretas Asa di Negeri Sakura (bagian I)

29 Juli 2010   10:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_209907" align="alignleft" width="300" caption="bunga sakura (dokpri)"][/caption] Surabaya, September 2007 “Dear Niji, Selamat, anda telah terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa Monbukagakusho. Dalam beberapa hari ke depan staf universitas akan segera menghubungi anda untuk menjelaskan formalitas yang harus anda jalani untuk aplikasi visa. Sekali lagi selamat dan sampai bertemu di Toyohashi. Salam, *Miyazaki Tsutomu” Berbunga-bunga saya membaca email itu. Tanpa sadar tangan saya mencengkram erat lengan teman kerja yang duduk di samping saya. “Apa-apaan sih kamu?” katanya sewot. “Aku diterima Pul!!!” pekik saya.

Berkali-kali saya baca email itu, isinya tak berubah. Berkali-kali saya cubit lengan, sakit. Ini bukan mimpi. Dari isi email, sudah terbayang calon pembimbing saya tsb pastilah seorang yang ramah, santun, dan berwibawa. Apalagi dengan sederet publikasi ilmiah, afiliasi dan penghargaan yang diterimanya di dalam dan luar negeri, pastilah beliau orang yang luar biasa.

==================================================== Toyohashi, 12 Desember 2007 5 hari setelah saya datang, hari ini adalah pertama kalinya saya mengikuti meeting di Miyazaki research group. Ada sekitar 20 orang anggotanya, 1 orang Indonesia, 1 orang Bangladesh, 1 orang China, sisanya orang-orang Jepang. Tingkat pendidikan mereka berjenjang, dari yang masih tahun ke-3 S1 hingga tahun pertama S3. Di Jepang, seorang mahasiswa, (baik S1, S2 terlebih S3) selain kuliah juga diwajibkan untuk masuk research group, melakukan penelitian, mengikuti seminar dan simposium, sebelum menulis tesis dan berhak dinyatakan lulus. Hanya saja topik penelitian mereka jauh lebih scientific, sangat up to date dan didanai penuh baik oleh pemerintah maupun sektor swasta seperti industri dan perusahaan.

Saat itu seorang anak perempuan, yang kemudian saya ketahui bernama Ohara-san*, sedang presentasi progress report penelitiannya. Saya tidak paham karena seluruhnya ditulis dan disampaikan dalam bahasa Jepang. Miyazaki-sensei yang sedari tadi diam saja mulai buka suara. Ia bertanya, makin lama makin intens, mencecar lebih tepatnya. Tak perlu paham bahasa Jepang untuk memahami situasi ini. Nada-nada tinggi, tudingan, presenter yang tampak gelagapan, wajah-wajah tegang di sekelilingnya.

Tak butuh waktu lama buat saya untuk menyadari bahwa seperti itulah situasi standar group meeting mingguan di lab kami. Situasi penuh tekanan dan terror tsb membuat setiap anak yg mendapat giliran presentasi di minggu berikutnya akan jungkir balik bereksperimen di laboratorium dari pagi hingga pagi lagi demi mendapatkan hasil yang bisa memuaskan sensei, atau paling tidak membuatnya lolos dari hardikan sensei. Bayangan indah tentang sang pembimbing yang telah terangkai sejak di Indonesia langsung buyar seketika. Di ruang seminar, beliau layaknya algojo tanpa ampun.

Walaupun rata-rata penghuni lab masih berusia di bawah 24 tahun, jangan remehkan stamina mereka dalam bekerja. Mereka mampu bekerja di laboratorium tak kurang dari 10 jam sehari, setiap hari. Demi menghadapi teror setiap hari senin jam 2 siang, mereka rela tidak keluar happy-happy dengan teman-temannya, tidak pulang kampung ketika libur musim semi, rela mengorbankan akhir pekannya, dan yg sangat menyedihkan, rela diputuskan sang pacar, demi kelancaran riset.

Seorang member lab, Katsuta-san*, telah ditunjuk oleh sensei untuk mengajari saya bagaimana cara menggunakan berbagai peralatan di lab. Katsuta-san tidak berbahasa inggris, saya tidak berbahasa Jepang, topik penelitian yang diberikan senseipun sama sekali asing buat saya. Background saya adalah teknik kimia yg berkutat dengan proses, sedangkan Miyazaki lab ternyata lebih fokus pada desain molekul dan morfologi polimer, sesuatu yang sama sekali tak pernah saya pelajari di bangku kuliah. Dengan hanya bermodalkan teori kimia organik yang hanya saya dapatkan sebanyak 4 SKS di bangku S1, terpaksa siang malam saya berusaha melahap buku-buku dan publikasi ilmiah tentang Organic Materials Science. Jatuh bangun saya berusaha memahami mata kuliah dan seminar. Diskusi dengan asisten riset, Fujiki-sensei* membuat saya bengong karena saya tak paham apapun yang dimintanya dari saya. Saya merasa seperti orang paling bodoh sedunia.

Di bulan-bulan pertama itu, mau tidak mau saya berusaha keras belajar bahasa Jepang. Jika tidak, saya tidak akan bisa survive di lab ini. Saya butuh bantuan member lain untuk mengoperasikan alat-alat yang instruksinya ditulis dengan huruf-huruf serupa mie tumpah, saya butuh mereka untuk mengajari saya hal-hal baru di sekitar saya. Untuk itu saya tidak malu untuk mengekor Katsuta-san kemana-mana,walaupun ia adalah junior 2 tahun di bawah saya. Saya bertanya dan belajar pada siapa saja, dan saya bersyukur bahwa orang Jepang sangat generous dalam membantu. Mereka tidak akan meninggalkan anda kebingungan atau membiarkan pekerjaan tidak tuntas. Anak-anak muda di sekitar saya adalah pengemban-pengemban amanah kelas wahid.

Di Jepang, asalkan anda memiliki curiosity dan passion yang cukup besar, anda bisa lakukan apapun yang anda mau. Akses ke publikasi ilmiah tanpa batas, peralatan dan instrumentasi paling mutakhir tersedia dan bebas digunakan oleh mahasiswa, material yang kita inginkan tinggal dicari di katalog dan tinggal tunggu untuk diantar ke lab. Harusnya saya senang, tapi saya merasa sangat aneh. Saya yang dulu pernah merasa bangga sebagai lulusan perguruan tinggi negeri menjadi keder setengah mati dengan apa yang dihadapkan pada saya. Ternyata saya tidak tahu apa-apa. Mungkinkah ini rasanya orang yang telah didekatkan sedemikian rupa pada impian-impiannya? Takjub namun senewen? Bahagia namun takut?

====================================================

30 Desember 2007, 23:30

Pop…!!!”

Dan seketika ruang kaca di depan saya telah tertutupi oleh cairan kuning lengket. Saya berdiri terdiam membeku, hampir tak percaya pemandangan di depan saya. Produk hasil sintesa selama 8 jam nonstop itu kini berpindah tempat, bukan lagi di tempat semestinya di labu reaksi, namun telah seluruhnya berpindah ke dinding-dinding, sambungan, bahkan di kondensor rotary evaporator. Tekanan yang saya set untuk menyedot sisa solvent (pelarut) dari produk sintesis rupanya terlalu tinggi, alih-alih solvent, seluruh produk sintesa justru meletup di dalam evaporator.

Untunglah Shin-san, mahasiswa S2 tingkat akhir dari China masih berada di lab. Segera saya berlari memanggilnya. Di tengah malam buta, kami berdua mulai melepaskan satu demi satu bagian evaporator dan pompa vakum, membersihkan cairan kuning lengket setara 8 jam kerja.

bersambung

*catatan: nama-nama tokoh dalam artikel ini bukanlah nama sebenarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun