Mohon tunggu...
Dinda Sastra
Dinda Sastra Mohon Tunggu... Penulis - cewek kuat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis pemula

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menakar Keadilan Kasus Asabri, dari Tuntutan hingga Replik

21 Desember 2021   08:43 Diperbarui: 21 Desember 2021   08:43 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengutip pernyataan Najwa Shihab "Bagiamana keadilan bisa tercipta jika orang tak bersalah disiksa menjadi terdakwa". Pernyataan tersebut sangat cocok menaggambarkan kasus di perusahaan asuransi negara.Perjalanan kasus Asabri yang diberitakan membuat negara rugi dengan nilai fantastis telah menemui ujungnya.

Setelah tuntutan hukuman mati dijawab dengan pledoi, lalu berlanjut dengan duplik dan replik. Sebelum kita mulai menganalisa perjalanan kasus ini, mari kita bedah satu persatu makna dari proses persidangan, mulai dari tuntutan hingga replik beserta analisa kasus. Karena bagi orang awam, penting untuk mengetahui artian-artian ini sebelum melayangkan opini layaknya pakar hukum.

Pertama, adalah tuntutan atau dalam bahasa hukum: surat tuntutan, bisa diartikan sebagai kesimpulan jaksa atas pemeriksaan perkara yang dibuat berdasarkan proses pembuktian di persidangan. Dalam Menyusun tuntutan dengan baik, jaksa tidak akan lepas dari surat dakwaan yang sudah dibacakan pada hari pertama sidang. Sebelumnya, jaksa terikat dengan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) terkait pedoman penuntutan. Dalam hal tuntutan Asabri, hal yang menjadi pertanyaan utama adalah ketidaksesuaian antara tuntutan dan surat dakwaan. Selebihnya adalah bantahan terhadap proses pembuktian di persidangan.

Hukuman mati yang memang dicanangkan oleh Jaksa Agung tidak bisa dipakai menjadi satu-satunya landasan hingga mengabaikan urutan seperti proses pembuktian dan kesesuaian dengan surat dakwaan. Hal inilah yang lantas mendapat tanggapan keras dari berbagai pakar hukum, mulai dari guru besar UNAIR, UGM hingga UI. Andai saja mengedepankan asas keadilan dan sesuai aturan dalam menuntut terdakwa Asabri, tentunya institusi mereka tak menuai kecaman hingga jadi bulan-bulanan media dan pakar hukum.

Bandingkan dengan tuntutan penyiraman air keras ke Novel Baswedan yang Cuma setahun atau bahkan tuntutan empat tahun ke mantan jaksa Pinangki. Jangan sampai asas ketidaksukaan lebih diutamakan ketimbang asas keadilan. Apalagi memakai tema korupsi besar-besaran yang bahkan tak bisa dijelaskan sumbernya, kecuali dari audit BPK yang nyatanya tak sesuai dengan kondisi di lapangan.

Hal inilah yang diungkap dalam pledoi terdakwa Asabri. Pledoi sendiri bisa diartikan sebagai suatu tahap pembelaan yang dilakukan terdakwa untuk dapat melakukan sanggahannya mengenai tuntutan yang dituntutkan oleh penuntut umum. 

Secara gamblang pledoi terdakwa Asabri menyebut belum ada kerugian Asabri. Penasehat hukum Heru menyebut jika penghitungan BPK yang dijadikan landasan JPU hanya memperkirakan uang yang keluar dalam investasi Asabri dan tidak menghitung keuntungan yang masuk.

Justru menurutnya ada pengabaian fakta jika Asabri masih memiliki saham dan unit penyertaan reksadana periode 2012 hingga 2019. Bahkan nilai saham dan reksadana tersebut terus bergerak. Ditambah dalam surat dakwaan JPU dan tuntutannya mengakui jika Heru tidak pernah memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada pihak Asabri. Sedang tuntutan hukuman mati sendiri telah menyimpang dalam surat dakwaan yang tidak pernah mencantumkan Pasal 2 ayat (2) dalam surat dakwaan.

Sekarang kita beralih pada proses selanjutnya yakni replik. Jadi, setelah tergugat memberikan jawaban atas gugatan penggugat, maka penggugat diberi kesempatan untuk memberi tanggapan atas jawaban, disebut replik. Tujuan dari replik ini adalah memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menjawab bantahan tergugat dalam jawabannya. 

Dalam replik yang dibacakan JPU, terlihat memang tuntutan hukuman mati sangat dipaksakan. JPU menyebut kalau terdakwa tidak menunjukkan penyeselan, melakukan korupsi dengan jumlah luar biasa di luar nalar manusia, hingga menyebut perulangan yang dimaksud dalam tuntutan karena korupsi yang dilakukan di kasus Asabri dilakukan berulang-ulang selama periode 2012 hingga 2019.

Kalau mau kritis, JPU bisa dianggap plin-plan karena sebelumnya merujuk korupsi dalam keadaan tertentu menjadi korupsi yang berulang. Lagipula sesuai pernyataan para ahli hukum, perbuatan di Asabri bukanlah suatu pengulangan karena baru kali ini masuk pengadilan. Atau jangan-jangan sebelum dibawa ke pengadilan diam-diam jaksa menguntit aliran uang Asabri dan menyimpulkan tuntutan jauh jauh hari sebelum adanya laporan Rini. Jelas pola pikir kejaksaanlah yang mencederai nalar kemanusiaan dan tak menunjukkan penyesalan meski dikomentari beberapa pakar hukum hebat di tanah air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun