Sudah siap, gerobak usang dengan kaca depan retak, dua ban samping yang agak oleng dan cat biru muda pada pegangan gerobak yang memudar milik Pak Kirno, kini siap meluncur ke jalan membawa barang dagangannya.
“Tahu goreng.. Tahu goreng.. yang panas.. yang panaas!” Teriaknya sembari mendorong gerobak.
Ya, Pak Kirno yang berjualan tahu goreng ini biasa menjajakan dagangannya sembari menuju tempat jualan di trotoar perempatan jalan, dekat pusat kota. Pak Kirno yang berusia lebih dari setengah abad dan tak memiliki anak ini dengan jiwa mudanya yang tak perlu dipertanyakan lagi, tampak tak bersemangat berjualan tahu goreng miliknya pada hari itu, ditempat jualannya di trotoar perempatan jalan, sembari memandangi gerobaknya dari luar rumah dan tanpa berkedip sedikitpun.
“Pak, kemarin Si Bejo terkena razia! Sebaiknya tak usah berjualan hari ini! Tidak aman!”Ujar salah seorang pedagang asongan memperingatkan.
Pak Kirno semakin tak karuan, pikirnya kemana-kemana. Jika ia tak berjualan hari ini, istrinya akan makan apa?, sementara kendi tempat beras dirumahnya sudah kosong dan dapur harus tetap ngebul.
“Kemarin Satpol PP dengan kejamnya mengobrak-abrik dagangan Si Bejo, bahkan dia dibawa ke kantor untuk diperingatkan, kasihan anak Si Bejo itu, sudah tak bisa jalan karena Polio, dan kini ayahnya tak bisa berjualan lagi.” Celoteh pedagang asongan itu.
Lamunannya yang panjang membawanya pada peristiwa sepuluh tahun yang lalu, ketika ia dan keluarganya terpaksa pindah rumah, rumahnya di bongkar paksa para Satpol PP karena mereka mendirikan tempat tinggal di tanah bukan miliknya. Trauma itu, kini kembali.
“Lagian hari ini hujan deras, mending tak usah berjualan saja Pak, jarang orang keluar untuk beli jajanan, saya juga tak jualan, cuaca seperti ini dirumah lebih enak Pak.” Ujar pedagang itu lagi.
Memang, musim hujan yang selalu membuat khawatir para pedagang kaki lima termasuk Pak Kirno itu adalah benalu selanjutnya. Teringat beberapa hari sebelumnya, beliau yang kala itu berjualan ditengah derasnya hujan, hanya melayani satu pembeli saja sejak sore hingga tengah malam itu. Tahu goreng miliknya masih bersisa banyak, bahkan basi karena beliau tak punya alat pendingin di rumahnya untuk mengawetkan tahu sisa kemarin.
“Pak, kemarin saya melihat Si Rusman penjual ayam goreng di seberang jalan, badannya melepuh, tersiram minyak panas dari penggorengan miliknya. Katanya sih, gerobak miliknya itu ditabrak mobil dari arah timur yang remnya putus, alhasil mobil itu lepas kendali dan menabrak gerobak Si Rusman lalu mengenai penggorengan yang pada saat itu sedang panas-panasnya. Duh, mengerikan sekali Pak.” Jelas pedagang itu lagi.
Resiko kecelakaan adalah hal yang tak mengherankan lagi bagi para pedagang kaki lima, apalagi mereka yang berjualan di dekat jalan, keselamatan mereka selalu digadaikan demi sesuap nasi untuk melangsungkan kehidupan. Sama halnya dengan Pak Kirno, gerobaknya pernah ditabrak motor yang tak bertanggungjawab. Sewaktu beliau mendorong gerobaknya menuju tempat berjualannya itu, Pak Kirno dihadapkan dengan sekumpulan orang mabuk yang sedang mengendarai motor, dan salah satu dari mereka, menabrak gerobak beliau hingga kaca depan gerobaknya pecah. Untung saja beliau baik-baik saja.
“Pak! Jangan melamun terus, sudahlah hari ini tak usah berjualan dulu saja, masih ada hari esok.” Hentak pedagang itu lagi mengagetkan.
Sejenak Pak Kirno sadar dari lamunan panjangnya, beliau membalikkan badan sembari melihat istrinya didalam, sedang duduk sembari menganyam daun pohon kelapa sebagai alas duduk untuk dijual, dan sekarang ini sudah jarang sekali dibutuhkan, kebanyakan orang lebih memiilih membeli karpet permadani dibandingkan alas duduk itu.
“Tahu goreng! Tahu goreng! yang panas.. yang panas!."
Semangat juang itu, kini muncul lagi. Apapun rintangannya, Pak Kirno tetap bekerja keras untuk menunaikan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga demi sesuap nasi untuk melangsungkan kehidupan keluarganya. Dengan keteguhan dan kebulatan tekad, para pedagang kaki lima yang dianggap “nekad” itu tak peduli dengan segala hambatan, karena bagi mereka apalah daya jika trotoar adalah teman setianya mencari makan, masih pedagang kaki lima yang perlu diperjuangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H