"Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat, mengusulkan kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 pagi."
Sedang asyik scroll social media, tidak sengaja menemukan caption memberitaan dengan bunyi seperti itu. "Ada-ada saja ya Pak Gubernur jaman sekarang kalo lagi ngelawak. Mentang-mentang punya kebijakan, lawakannya jangan sampai dianggap serius oleh masyarakat", aku tertawa dalam hati dan memilih melanjutkan pencarian informasi yang lebih menarik untuk dibaca.
Dan tidak tahunya, semakin hari, pemberitaan ini semakin membuming di tanah air. Aku telah salah menyangka. Amat menyesal mengapa tidak membaca keseluruhan beritanya waktu itu. Ternyata pemberitaan itu tidak hanya sekedar clikbait. Bukan juga sebuah usulan kebijakan yang belum akan diterapkan sebelum mendapat persetujuan dari beberapa pihak lain yang berwenang.
Kurasa memang tidak salah isu ini semakin kian memanas. Sebab ini bukan lagi masalah kewilayahan tertentu yang harus berjuang sendiri layaknya menghadapi endemi. Tapi ini sudah masalah persatuan individu yang pernah merasakan bagaimana pahitnya belajar disiplin melalui jam berapa sekolah dimulai.
Masuk sekolah jam 7 saja sudah berat, Pak!
Padahal sebelumnya sulit untuk jujur kepada siapapun, termasuk pada Ibu, bahwa masuk sekolah jam 7 itu amat berat terasa. Mengapa tidak disamakan saja dengan jam kantor sih jam 7.30? Agar bisa barengan ngantor Bapak dan tidak merepotkan Ibu yang sudah punya banyak daftar pekerjaan di rumah seharian.
Siswa rata-rata tidur jam 22.00, katanya! Mohon maaf, yang benar, mereka tidur dalam waktu yang tidak tentu. Waktu tidur bisa jam berapapun. Sebab keperluan sehari-hari dan beban pikiran setiap individu itu berbeda-beda yang menjadi faktor kapan seseorang akan tidur dan butuh tidur. Rata-rata orang tidur ya kalau sudah mengantuk.
Tidur 6 jam sudah cukup, katanya! Kalau ditimbang dari cukup tidaknya waktu tidur, hampir setiap orang inginnya tidur lebih dari 8 jam. Kalau perlu malah ingin tidur seharian. Bagaimana bila sebagian besar siswa sepakat dengan ungkapan ngawur namun aktual, bahwa "Malam hari tidurnya susah, pagi harinya bangunnya juga susah". Dan saya amat sepakat dengan tinjauan medis yang dinyatakan dalam halosehat.com bahwa setiap anak membutuhkan waktu tidur yang berbeda-beda berdasarkan usianya. Remaja di bangku SMP (usia 13-15 tahun) waktu tidur cukupnya sekitar 9-11 jam per hari. Artinya tidak boleh kurang dari tujuh jam dan tidak baik bila lebih dari dua belas jam dalam satu hari.
Sedangkan remaja di bangku SMA (usia 16-18 tahun) memerlukan waktu tidur yang cukup sekitar 8-10 jam per hari. Berarti tidak boleh kurang dari tujuh jam dan tidak baik bila lebih dari sebelas jam per hari. Nah bagaimana tuh dengan penerapan kebijakan masuk sekolah jam 5 untuk anak SMA dan SMK di Kupang? Sulit membayangkan bila berada diposisi mereka. Kecuali itu hari lebaran, atau hari lain yang bakal menjadi hari istimewa. Atau kalau tidak bangun jam 3 saja sekalian, tapi untuk sholat tahajud dan tidur lagi. Tidak tidur lagi juga boleh, asalkan sesuai kebutuhan tidur masing-masing orang. Jangan ada keterpaksaan disana.
Anak perlu dibiasakan bangun jam 4. Jam 4 bangun. 30 menit berikutnya siap-siap. 30 menit berikutnya untuk waktu keberangkatan. Hal ini untuk mengasah kedisiplinan dan etos kerja, katanya. Betapa mulianya tujuan si Bapak. Harus saya akui itu. Namun sepertinya si Bapak terlalu menyamaratakan keadaan siswa dan kondisi keluarganya. Si kaya sih bisa dengan cepat mendapatkan menu sarapannya karena Ibu ada yang membantu masak. Tidak dipikirkan bagaimana bila sejauh ini ada siswa yang harus memasak sarapannya sendiri? Jarak rumah siswa dari sekolah dipukul sama rata? Memakai kendaraan yang kecepatannya sama? Waktu mandi yang sama? Kalau begini ceritanya, dapat memungkinkan terciptanya potensi siswa bolos atau izin tidak berangkat sekolah atau siswa datang terlambat nggak sih?