Kritik lain yang diarahkan kepada hijab adalah ia telah merampas kebebasan dan hak kodrat perempuan sebagai manusia, dan dengan demikian ia di anggap sebagai penghinaan terhadap kemuliaan insani perempuan.
Banyak yang mengatakan bahwa menghormati kemuliaan dan ketinggian manusia adalah termasuk butir-butir yang di ikrarkan di dalam HAM (Hak Asasi Manusia). Karena semua orang itu mulia dan bebas, laki-laki maupun perempuan, hitam maupun putih, tanpa melihat negara dan agama. Jadi, memaksa perempuan untuk mengenakan hijab adalah suatu pelanggaran terhadap hak manusia untuk bebas dan penghinaan atas kemuliaan manusia. Artinya, itu merupakan kezaliman terkutuk terhadap perempuan. Demikian pula ketentuan undang-undang dan akal yang melarang untuk menjauhi siapapun atau mengurungnya tanpa sebab, dan melarang perbuatan semena-mena terhadap siapapun, dalam bentuk atau cara apapun. Semua itu mengharuskan agar hijab di hapuskan.
"Cadar Tuhan: 100."
Wacana publik tentang jilbab seringkali berputar-putar pada pertanyaan: Apakah ia sebuah ekspresi kultural ataukah substansi ajaran agama; Apakah ia sebuah simbol kesalehan dan ketaatan seseorang terhadap otoritas agama ataukah simbol perlawanan dan pengukuhan identitas seseorang? Banyak feminis "beraliran" Barat memandangnya sebagai sebuah bias kultur patriarkhi serta tanda keterbelakangan, subordinasi dan penindasan terhadap perempuan. Fatima Mernissi, seorang Feminis Afrika, menggugat bahwa jilbab hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ruang publik. Tetapi di sisi lain, jilbab dianggap sebagai pembebas dan ruang negosiasi perempuan.
Pada titik ini, hujab sebenarnya masuk pada arena kontestasi ---sebuah permainan makna dan tafsir. Relasi-kuasa bermain dan saling tarik antara kalangan agamawan normatif dan feminis liberal; antara atas nama kepentingan norma (tabu, aurat, kesucian, dan privasi) dan atas nama kebebasan perempuan (ruang gerak, persamaan, dan lain-lain).
Dalam konsep Islam, hijb dan menstruasi pada perempuan mempunyai konteksnya sendiri-sendiri. Aksentuasi hijb lebih dekat pada etika dan estetika dari pada ke persoalan substansi ajaran. Pelembagaan hijb dalam Islam di-dasarkan pada dua ayat dalam Alqur'an yaitu QS. Al-Ahzab/ 33: 59 dan QS. An-Nur/24: 31.
Kedua ayat ini saling menegaskan tentang aturan berpakaian untuk perempuan Islam. Hijab suda ada jauh sebelum agama samawi hadir sebagai penerang atau meluruskan umat manusia ke jalan yang benar.
Jadi, substansi hijab adalah sebagai bentuk upaya dalam menutupi aurat baik perempuan maupun laki-laki.
Menutup aurat mempunya makna yang sangat dalam jika kita betul-betul memaknainya secara kusyu, karena menghijab adalah sebagian dari menjaga dan memuliakan Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H