Mohon tunggu...
Nidya Utami
Nidya Utami Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis bagiku kayak berenang, kita harus punya napas panjang untuk merenung panjang demi sebuah tulisan bagus.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Indonesia, Kapan Kaya?

13 November 2024   13:21 Diperbarui: 13 November 2024   13:29 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Indonesia adalah negara politik, bukan negara hukum. Mungkin secara dilisankan, pendapat saya terasa mengada-ngada. Tapi secara terapan tidak begitu jauh dari kenyataannya.

Umpamakan Indonesia itu bagaikan anak berbakat dari keluarga kaya(metafora untuk sumber daya alam melimpah) tapi mendewasa jadi pemakai narkoba sedangkan tetangganya Korea Selatan yang seumur(tahun merdekanya sama)adalah anak pas-pasan dari keluarga sederhana(metafora sumber daya alam sedikit)berujung banyak prestasi dan kaya raya karena etos kerja tinggi dan sangat rajin.

 Memang pemerintahan yang sempurna itu impian saja. Tapi paling tidak kita gigih inovasi mencari resep pemerintahan yang nyaris sempurna. Aku teringat banyak kawanku suka cemooh idealisme poster-poster Kesehatan Masyarakat yang target eradikasi TBC 99%, mustahil! Jangan idealis! Padahal kalau dipikir-pikir, bukannya keharusan 99% itu tapi lebih kepada pendorong. Seperti ketika penyelenggara acara mengumumkan acara dimulai jam 08.00 pagi padahal aslinya jam 10.00 pagi untuk antisipasi budaya jam karet di Indonesia.

Kesadaran politik tinggi pemuda-pemudi itu membuat saya bertanya-tanya apakah itu baik atau buruk? Apakah lebih efektif jika anak dicekoki literasi saintifik terlebih dahulu sebelum ekspos dunia politik agar menanamkan keadilan berdasarkan hitung-hitungan dan meminimalisir keinginan licik untuk meraih yang diiinginkan? Proses kampanye yang sengit biasanya diasosiasikan sama ranah spesialisasi pria meski banyak pemain politik perempuan tak kalah bertangan besi. Arus hati rakyat tahun ini bisa memengaruhi total elektabilitas seorang calon politisi. Politik itu tak jauh-jauh dari kurasi imej, imej seorang calon politisi yang pernah merasakan miskin dan alim disebar melalui media bisa jadi alat pamungkasnya untuk mendapat suara rakyat. Pembuatan naratif strategis ini butuh kreatifitas yang alamnya kurang rasional.

Kalau calon pengurus negara harus punya iklan jempolan yang resonan hati masyarakat, bagaimana bisa jeli pilih calon pengurus negara yang kompeten? Sebab iklan itu hakikatnya adalah berbohong, atau setidaknya dramatisasi. Bayangkan rakyat Indonesia bagaikan perempuan gampang mabuk kepayang digombali saja tanpa dikasih apa-apa oleh pemerintah yang naik jabatan karena lihai promosi diri meski tanpa substansi yang tolak ukur integritas. Perbaikan mentalitas adalah kata kuncinya. Dengan mentalitas rakyat yang benar, maka mereka bisa teliti memilih siapa yang cocok memimpin dengan adil. Mentalitas orang miskin kan cenderung mau kawin makan cinta saja, nah memupuk mentalitas orang kaya yang menghargai uang bukan sebagai pemuas napsu saja tapi uang sebagai alat untuk cari pahala(menyumbang, naik haji dsb), umpamanya seorang gadis yang perhitungan ketebalan dompet suami karena bercita-cita membesarkan anak secara baik dan benar agar dia jadi tokoh masyarakat yang dihormati adalah cita-cita mulia berkedok mata duitan, apalagi dibandingkan gadis yang asal kawin karena cinta sesaat dan tidak peduli cara membesarkan anak. Maka anakpun hanya jadi hiasan untuk membuktikan diri ini laku kok kepada lingkaran pergaulan yang sama cueknya. Jika dikaitkan dengan pengelolaan negara, gadis berkedok mata duitan adalah kebijakan tertib yang mengagetkan masyarakat seperti perombakan kurikulum tua, sedangkan gadis pemakan cinta adalah kebijakan manis yang penuh basa-basi seperti krisis iklim yang tidak diutamakan.

Obsesi kesempurnaan ini masalah banyak orang pemalas, karena kebanyakan rencana tidak realistis malah jadinya semua tidak jalan. Ini juga penyakitnya orang Indonesia, mukadimahnya segunung, visinya luar biasa, aksinya lalai.

Tapi pemikiran akan bagaimana ya perbaiki mentalitas Indonesia ini juga terpecah jadi beragam kubu, ada kubu yang percaya Indonesia harus utuh meninggalkan pengaruh agama supaya modern. Lalu ada juga kubu yang percaya Indonesia harus fokus sama satu agama aja. Ini adalah dikotomi ekstrem yang memiliki beberapa kekurangan.

Jika utuh meninggalkan agama, ini tidak realistis. Kasarnya, bimbingan agama sebagai obat hati yang murah dibandingkan ke psikolog. Jika fokus sama satu agama saja juga tidak masuk akal karena yang agamanya berlainan bakal tersingkir padahal mereka bisa kontribusi juga ke perputaran ekonomi masyarakat dengan perspektifnya.

Kulihat Indonesia memang cenderung agak kiri dikarenakan Indonesia butuh bantuan politik kiri Amerika Serikat sangat mendukung pemberdayaan negara lain dan kaum-kaum marginal namun Indonesia mundur kalau persoalan kaum marginal terkait LGBT.

Media juga berperan besar dalam membentuk pola pikir. Media Indonesia harus berani tidak hanya menyuapi naratif yang sudah selera Indonesia, media harus berani menjadi 'pil pahit' dan tak hanya memanjakan dengan narasi-narasi indah dan semu dibaluti penbendaharaan kata jurnalistik. Mental orang miskin Indonesia bisa berubah asalkan ada kerjasama dari seluruh pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun