Indonesia masih merupakan negara yang 'naif'. Apa maksud saya dengan naif, mari saya jelaskan.
Contoh sederhananya perkara pemilihan penjurusan ketika SMA, Indonesia kerap membesar-besarkan pentingnya pembelajaran berbau IPA dibandingkan IPS. Ini membuat literasi finansial anak muda menjadi terbatas sekali(ekonomi kan termasuk pelajaran IPS). Mereka harus menelan pil pahit setelah terjun sendiri ke dunia nyata. Nah loh, pintu rejeki ternyata sebagian besar melalui berdagang yang ranahnya IPS, sedangkan spesialisasi yang disuguhkan kepiawaian dalam bidang IPA(contohnya profesi dokter), tidak semewah anggapan orang umum.Â
Menjadi dokter saja tidak bisa kaya, dokter harus memperluas cakupannya dengan merambah ke berdagang seperti buka apotek sendiri. Ini adalah wawasan yang jarang diketahui anak-anak muda dikarenakan naratif naif di Indonesia yang condong hitam putih dalam menilai segala hal terutama isu-isu pelik seperti pendidikan sains berat, keuangan serta merta inovasi teknologi. Dari referensi yang saya baca, negara-negara superpower dan kelas satu, menekankan stereotip-stereotip naif hanya di konten hiburannya...Lain cerita di kehidupan nyata.
Tak urung, ini juga yang saya kira menjadi salah satu unsur penyebab kebocoran data masif yang baru-baru ini terjadi. Tentu saja tidak melulu perkara naratif, tapi demistifying banyak topik apalagi berhubungan dengan gadget, merupakan suatu langkah besar menuju kemajuan. Disonan kognitif Indonesia tentang peran agama, kesukaan pada perdukunan, serta merta obrolan berdasarkan konspirasi yang menyebar lebih cepat daripada ilmu pasti, membuat Indonesia negara susah maju dikarenakan sumber daya manusianya yang kontradiktif dan kurang kritis. Definisi-definisi belum didedah dengan jelas, sedangkan bagi yang sudah benar malah menganut sikap elitis yang membuat ilmunya susah ditangkap bagi yang belum paham.
Persepsi akan tingkat kemampuan hacker yang diluar nalar dan realita keamanan siber ini adalah desas-desus yang paling seru diajak cakap melantur oleh kebanyakan anak muda. Padahal, menjadi hacker itu jauh lebih gampang dari imej yang tersebar, ini perlu sekali untuk disadari agar membuat rakyat awam tetap waspada menggunakan nalar umum yang bisa sekali menyelamatkan diri dari serangan hacker yang sebenarnya lebih banyak menggunakan social engineering(eksploitasi kekurangan manusia yakni naif serta lebih mengandalkan perasaan daripada akal).Â
Tidak perlu kemampuan pemrograman advans untuk jadi hacker, beda dengan jadi ahli pemrograman yang memang harus memiliki sejenis tingkat kepakaran sebab tugasnya membangun sebuah perangkat lunak atau perangkat keras. Mencari celah praktis dari sebuah perangkat itu hanya butuh kecerdikan biasa, cheap pre made hardware dan moral yang miring.Â
Bayangkan level kemampuan komputerisasi itu adalah undakan-undakan tangga, nah, para pakar pemrograman bakal pernah merasakan masa dimana mereka adalah hacker saat masih mula-mulai bermain-main dengan teknologi, lalu pelan-pelan naik menjadi mahir mencipta teknologi. Sedangkan seorang hacker tidak perlu jadi pakar untuk mencelakai orang lain yang lebih awam. Ada memang, hacker yang kemampuannya diatas rata-rata, tapi itu jarang sekali.
Makanya, saya harap dalam waktu dekat, Indonesia bakal mengambil langkah pertama untuk pelan-pelan mengusir pemikiran naif bersifat konspiratif hanya karena itu adalah bahan obrolan yang asyik. Definisi akurat dan realistis diperlukan untuk menuju maju. Dan jika Indonesia masih berkutat pada kenaifannya karena dirasa lebih mudah, ini bakal membuat negara indah penuh potensi ini makin merosot ke kebingungan dan nestapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H