Mohon tunggu...
Nidya Utami
Nidya Utami Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis

Menulis adalah passionku. Medium kata adalah caraku mengekspresikan diri

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Fase Seniman Pemula di Mana Tekad Betulan Diuji

13 Juni 2024   08:40 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:56 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

'Starving artist' adalah ungkapan umum bagi komunitas seniman di seluruh dunia. Ini adalah fase yang tak bisa dihindari apabila tidak lahir dengan orang tua kaya. Jika seorang seniman amatir menggeluti bidang seni pilihannya(apapun itu, bisa melukis, menulis, mematung, bahkan desainer pakaian), banyak waktu harus mereka habiskan untuk bekerja serabutan, buat karya secara cuma-cuma sembari mengasah kapabilitas.

Seni sampai-sampai identik dengan kemiskinan, dan tak urung dikaitkan dengan beragam kejahatan seperti narkoba. Padahal seni yang baik bakal menginspirasi banyak orang untuk maju menghadapi kehidupannya dengan lebih berani, banyak seni tak hanya menghibur tapi juga sarat kebijaksanaan yang dibutuhkan. Tak urung seni juga berbau politik sehingga ada manfaat pragmatisnya juga. Jadi walaupun terkesan tidak berguna, seni sebenarnya seperti udara kita. Kita menghirupnya tanpa sadar. Kita membutuhkannya selalu. 

Nah, jika demikian, kenapa lebih sulit mencapai karir stabil di seni daripada bidang lain yang lebih kongkrit seperti teknologi? Sebenarnya apa sih yang membuat seni begitu sulit dihasilkan?

Pertama-tama mari kita dekonstruksi apa itu yang bisa dikatakan seni? Seni juga mendapat imej sepele sebab tak sedikit orang faham apa yang bisa dikategorikan sebagai seni. Sebab seni adalah salah satu alat terapi paling manjur, banyak orang yang menjalani terapi seni mengira curahan hati asal-asalannya itu sudah bisa dianggap seni. Ini sering kita lihat di fenomena lukisan tidak beradab yang dibuat oleh napi-napi kriminal kelas kakap, yang bisa dijual karena memiliki nilai keunikan yang gelap bagi kolektor yang suka mengeksplor sisi jahat hati manusia. Meskipun secara formil, itu belum bisa dicap sebagai seni betulan.

 Dalam keadaan sehari-hari juga, anak kita seringkali didorong untuk belajar mengekspresikan diri melalui buat lukisan. Maaf ucap, sejelek apapun hasilnya, sudah sebuah kewajiban sebagai orang dewasa yang baik untuk memberi pujian terhadap ekspresi hati buah hati atau sekedar anak tetangga. Apalagi yang profesinya guru TK. Pujian ini akan membentuk kepercayaan dirinya karena tujuan menggambar untuk anak-anak bukanlah untuk dijual. Tapi banyak bincang-bincang mengenai seniman-seniman tersohor yang mendapat ide identitas karyanya dari teknik menggambar spontan anak-anak, seperti kekhasan lukisan Quentin Blake dan tentu saja Picasso. Kedua maestro ini mempunyai nama besar di dunia seni. Ini semakin membuat kategori seni  semakin buram, menjauhkan kita dari pemahaman akan apa sih keindahan itu. Dan mau tak mau pemahaman akan apa itu keindahan adalah salah satu tolak ukur kematangan jiwa seseorang.

Media sosial jadi bising tak menentu oleh perdebatan tentang seni, yang tanpa kita sadari memengaruhi tiap aspek kehidupan sehari-hari. Semua orang bersaing siapa punya selera estetik paling bagus. Para netizen berlomba-lomba mengklaim karya seni pemula sebagai mahakarya karena mereferensi orang-orang seperti Quentin Blake dan Picasso. Ini diam-diam adalah perihal yang toksik, dan dapat membawa orang ke kondisi depresi karena sulit membedakan mana yang indah dan mana yang jelek. Di masa kini, bahkan muncul banyak aliran seni baru yang bahkan jauh lebih eksperimental dan membingungkan dari karya Quentin Blake dan Picasso, seperti 90's grunge yang preferensi baju kumal dan robek-robek sebagai estetik. Ini mungkin mulanya dikiran inklusif semua estetika, tapi karena pada hakikatnya kehidupan ini bergerak dengan hirarki nilai. Jadi bagaimana kita menyikapi bombardir aliran seni baru yang semakin lama semakin absurd? Saran saya, lihat konteksnya.


Seni seronok berguna dalam konteks politik kebebasan. Seni abstrak berguna dalam konteks makna kesederhanaan. Seni riang gembira berguna untuk iklan produk yang dijual untuk khalayak ramai. Kita yang harus jeli memperhatikan.

Nah, kesadaran akan guna seni seringkali menjadi penghambat bagi seniman pemula untuk berkarir dalam seni secara stabil. Seni itu menurut saya merupakan ranah paling sulit bukan karena ada aspek ketelanjangan dari pihak penggubah seni, ataupun seniman harus mencurahkan banyak dirinya di karyanya. Lebih tepatnya, seniman pemula masih lekat bergumul dengan egonya sendiri. Makanya pembuatan seni berbanding sebelah dengan pengembangan diri si seniman. Karena seniman akan selalu berperang dengan egonya. Tapi hanya dengan begitulah, seorang seniman bisa buat karya yang menyentuh untuk audiensnya sehingga mereka sudi membeli demi menjaga kualitasnya. Ini merupakan pilihan yang rumit bagi seniman pemula dan terkadang banyak seniman jauh di sanubari menyerah dan menikmati berkubang di status seniman amatiran dan puas sekedar mengobrol saja tentang rencananya mencapai mahakarya.

Inilah ujian tekad, dan dipastikan hanya yang bertekad baja yang bisa lolos dan berhasil dalam seni. Ini kenyataan pahit yang harus ditelan semua seniman pemula.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun