Sering kita melihat orang-orang miskin ekstrem di tepi jalan, melamun atau malah meminta uang kepada orang normal. Kebanyakan kita tenang menganggap bahwa kemiskinan itu condong ke pilihan hidup bukannya alasan deterministik. Kepercayaan ini membuat hati kita lapang karena merasa lepas dari tanggung jawab, toh orang miskin dalam kondisinya akibat perangainya: entah itu narkoba atau malas.
Tapi itu bukanlah notabene orang miskin. Walaupun perilaku malas juga berperan dalam kemiskinan, nasib sistemik juga seringkali menjadi alasan sahih daripada penderitaan yang menimpa orang miskin. Misalnya kena PHK dan terjerat penipuan. Ataupun kondisi keluarga yang turun temurun miskin diakibatkan kurangnya kesempatan kerja sebab edukasi yang tidak memadai agar siap.
Mari kita gali lagi apa itu nasib sistemik. Kalau kita pikir-pikir secara dalam, semua perihal itu adalah sistem. Walaupun cabang variabelnya tidak simetris atau vertikal top down bottom up. Kalau pengertian kausal sebab akibat kan terlalu simplistis, contohnya orang itu malas maka wajar dia miskin sekali. Dalam kenyataannya, lebih sering terjadi kemiskinan akibat terperangkap sistem yang tidak menguntungkan. Bermula dari perspektif bawaan keluarga yang masih terbelakang seputar mencari uang(contohnya mindset hanya cari bos agar kasih gaji), kesadaran kalau kapabilitas harus ikut dengan trend masa kini(misal, masih jarang rakyat Indonesia tahu apa itu AI padahal yang punya ponsel nyaris semuanya).
 Pengaruh globalisasi juga tak selalu positif. Semua ada plus minusnya. Salah satu contoh adalah kebiasaan orang Barat mengglamorisasi kemiskinan(seperti di film-film yang mendedah drama penjualan narkoba akibat kesulitan mencari duit untuk biaya pengobatan, pelacuran yang dilukiskan sebagai alternatif tidak berbahaya serta plot anak remaja masuk rehabilitasi dan nyaris diusir hingga tinggal di jalanan) dan sikap buruk, mungkin cocok untuk rakyat Barat lain agar tergerak menyumbang dan membayar pajak tinggi demi penduduk lain yang kurang beruntung. Tapi mistranslation sering terjadi di kultur yang berbeda sehingga orang Timur banyak juga merasa kondisi miskin dan nahas itu sesuatu yang lumrah bahkan indah diakibatkan naratif yang dijual oleh hiburan Amerika Serikat.
Mungkin syarat utama yang perlu diterapkan adalah edukasi. Dengam edukasi, masyarakat miskin bakal lebih jeli melihat peluang yang tersedia dan tidak berkubang dalam pola pikir romantis yang memvalidasi kondisi miskin. Kedua tentu saja perusahaan-perusahaan besar mencari akal agar memperluas lapangan pekerjaan dengan kualifikasi sederhana seperti petugas kebersihan, adapun kerjasama dengan pemerintah memberi pelatihan seputar uang. Pemerintahan juga seharusnya membangun banyak program untuk santunan orang miskin ekstrim seperti menyediakan tempat tinggal sementara yang dibarengi sumbangan sembako serta kursus keterampilan bermanfaat. Ini hanya bisa terjadi dengan musyawarah yang menghasilkan kesepakatan bahwasannya miskin itu adalah campuran kompleks antara pilihan sikap serta situasi sistemik yang rusak sehingga semua merasa bertanggung jawab untuk berubah. Kedua belah pihak harus ada andil dalam pengentasan kemiskinan, dimana pihak yang miskin termotivasi untuk maju dan disediakan fasilitas agar mereka bisa meraih cita-cita dan martabat lebih layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H