Mohon tunggu...
Nidya Utami
Nidya Utami Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis bagiku kayak berenang, kita menyelam dalam nyari sesuatu dan keluar air untuk napas lalu nyelam lagi. Jadi daripada bakat mari kita sebut nulis itu keterampilan yang mungkin sekali untuk dilatih tiap hari

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menetralkan Stigma Terhadap Pasien Kusta

15 Oktober 2022   13:31 Diperbarui: 17 Oktober 2022   13:52 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stigma kusta adalah salah satu stigma tertua. Kusta yang dikira sebagai penyakit masa lampau, kendati masih menjangkiti penduduk sampai sekarang. Penyakit kusta identik dengan kemiskinan, jadi satu-satunya cara eradikasi total hanyalah dengan kemajuan taraf hidup. Di Indonesia dimana masih banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan, persentase warga berpenyakit kusta tergolong ramai.

Kusta adalah penyakit dari bakteria bernama mycobacterium leprae. Kondisi ini memengaruhi kulit, mata dan saraf. Kusta menular melalui percikan dahak. Masalah paling mengkhawatirkan adalah kematian saraf dari pengidap kusta yang membuat pasien sering tidak sadar kalau sedang terluka sampai sudah terlanjur parah.

Stigma adalah tindakan penolakan penerimaan sosial pada seseorang atau kelompok karena masalah kesehatan, stigma terkait respon manusia terhadap perbedaan. Stigma untuk kusta terdiri dari tiga kategori, yang pertama kusta yang berdampak pada kecacatan wajah. Lalu stigma seputar kecacatan pada tangan kaki yang mengganggu kinerja. Kemudian stigma terhadap menularnya orang berpenyakit kusta.

Stigma kusta juga menghasilkan takhayul kutukan sampai-sampai penanganan bisa hanya melalui ritual perdukunan. Padahal perawatan perdukunan ini meningkatkan kemungkinan penularan karena kontak langsung dengan pasien kusta yang tidak didorong untuk segera mencari obat. Dan kendati telah sembuh dari kusta, OYMPK(orang yang pernah mengalami kusta) tetap dicap rakyat sebagai menular hingga tersudut di komunitasnya.

Sebenarnya perawatan kusta sudah diberikan gratis oleh sarana kesehatan terpadu di seluruh penjuru dunia. Kurikulum medis sudah banyak mengulas tata cara menangani kusta. Namun stigma yang membayangi penyakit kusta, apalagi di daerah terpelosok, menghambat penduduk yang bergejala untuk mencari pengobatan medis sampai akhirnya terlambat dan penyakit kusta telah menggerogoti tubuh hingga terbentuklah kecacatan. 

Revolusi mental terkait penyakit krusial sekali untuk isu kesehatan publik. Rakyat khususnya di daerah terpelosok perlu diberi pendidikan mengenai bakteri kusta agar tercipta lingkungan sosial yang mendorong pasien lekas mencari pertolongan medis supaya menekan penyebaran kusta serta menjaga kualitas hidup seorang pengidap kusta. 

Ada beberapa tahap dalam kualitas hidup yang merupakan hak semua manusia. Yakni pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan, kesehatan fisik, ketenangan perasaan, pergaulan, dan spiritual. Dari sudut pandang pasien kusta, penyakitnya menghalanginya dalam mencapai kualitas hidup. Kesulitan mencari pekerjaan, perkawinan serta pergaulan apalagi dengan adanya kecacatan akibat kusta. OYMPK biasanya ingin bergaul di kalangan OYMPK lainnya akibat malu ataupun paksaan sekelompok warga normal agar menempatkan OYMPK di area khusus pengidap kusta.

Taktik terbaik untuk mengurangi stigma terhadap pasien kusta adalah penanganan cepat dan tepat untuk menghindari disabilitas akibat kusta. Keterlambatan mencari pertolongan saintifik(dari pihak pasien kusta yang percaya pada takhayul dan sebagainya) serta merta keterlambatan paramedis desa menangani pasien(akibat kurangmya pelatihan perawatan pasien kusta yang spesifikasinya lebih pada ranah dermatologi) adalah dua masalah yang bisa ditanggulangi dengan pendalaman materi edukasi kusta. Tindakan preventif untuk keparahan kusta sebagai cara menghindari stigma tak luput dengan peningkatan sarana perawatan kusta. Maka untuk mensiasati stigma, selain melalui menggenjot pendidikan terkait penyakit kusta dan pengidapnya(beberapa dari caranya adalah lomba blog SUKA ini yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan realita penyakit kusta, adapun penyuluhan di desa berkisar penyakit ini dsb), sarana medis untuk penyakit kusta harus senantiasa diperbaiki agar lebih optimal.

Selain sebagai kewajiban kemanusiaan untuk tenggang rasa tapi juga agar penerapan preventif kusta berjalan lancar demi kenyamanan bersama. Mari kita ubah salah anggapan pada pihak pasien kusta agar mereka tidak tersudutkan. 

(Referensi : https://internationaltextbookofleprosy.org/chapter/stigma-quantitative

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7055175/

https://youtu.be/_TDLXRwyAOA )

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun