Tahun 2024 baru saja memasuki beberapa bulan, namun dalam periode yang sangat singkat ini, seluruh dunia tak terkecuali Indonesia mencatat berbagai jenis bencana alam yang membawa kerugian tidak hanya dari sisi materi hingga kehilangan nyawa. Fenomena ini salah satunya disebabkan oleh pola hidup manusia yang kemudian "merusak" bumi dan lahirnya bermacam bencana yang bahkan tidak pernah kita jumpai sebelumnya.Â
Kita semua sudah tahu bahwa ini bukanlah hal yang baru, bahkan oleh banyak ahli telah diprediksi sebelumnya. Namun, hingga saat ini gerakan perubahan yang diinisiasi oleh beberapa pihak ternyata belum menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini disebabkan karena memang masih lebih banyak pihak yang belum ikut terjun dalam mengambil peran entah karena belum memahami esensi dari perubahan atau bahkan abai dari hal ini.
Salah satu hal yang telah banyak disarankan oleh pegiat lingkungan adalah berpindahnya kita dari penggunaan energi fosil menuju energi bersih (EBT-Energi Baru Terbarukan). Telah terbukti bahwa dengan beralihnya kita ke pola hidup energi bersih, maka produksi karbon akan berkurang yang bisa menjadi solusi dari permasalahan pemanasan global hingga perubahan iklim. Dua masalah inilah yang kemudian melahirkan berjuta masalah yang menghadirkan berbagai efek domino buruk bagi masyarakat.
Berita gembiranya adalah semakin hari semakin banyak pihak yang menyadari pentingnya hal ini dan mulai mengambil langkah awal untuk berpindah. Namun, mengingat penting dan gentingnya hal ini, langkah perubahan memang harus dilakukan segera dan secara bersama-sama. Pemerintah memegang peranan penting dalam hal ini karena mereka dapat membuat suatu peraturan atau kebijakan yang secara efektif dapat mengurangi jejak karbon kita.Â
Di Indonesia sendiri, gerakan seperti tidak diperkenankannya penggunaan plastik atau mulai menjamurnya kendaraan listrik adalah hal yang patut diapresiasi. Namun, menurut para ahli dibutuhkan langkah yang lebih besar lagi agar manfaat yang dirasakan juga bisa lebih signifikan. Pajak karbon misalnya merupakan salah satu solusi yang dianggap bisa menjadi alternatif efektif dalam mengurangi emisi karbon kita.
Namun, bagi pihak yang tidak setuju, mereka lantas membawa kondisi greenflation sebagai momok menakutkan yang akan kita rasakan. Greenflation sendiri merupakan suatu kondisi dimana terjadi kenaikan harga barang atau jasa akibat beralihnya kita ke energi yang lebih bersih. Mereka menambahkan bahwa hal ini sangat berbahaya sehingga peralihan ke energi bersih harus ditinjau kembali.Â
Tentu, kondisi greenflation bukanlah hal yang menyenangkan, namun jika bisa diibaratkan, saat ini kita memiliki dua pilihan. Pilihan pertama adalah tetap berada pada pola hidup kita saat ini dengan mengandalkan energi kotor yang memang jauh lebih murah. Sekilas terlihat menarik, namun suka tidak suka kita harus menyadari bahwa telah ada banyak masalah yang lahir karena pola ini dan bahkan dalam jangka panjang kerusakan yang kita rasakan berpotensi akan jauh lebih besar dari saat ini.
Sementara pada pilihan kedua, kita memiliki opsi untuk beralih ke energi bersih yang butuh dana yang tidak kecil. Greenflation memang adalah kondisi yang akan kita hadapi. Namun, dalam perspektif ekonomi lingkungan, fenomena greenflation ternyata tidak akan berlangsung lama, karena setelah semua industri telah menggunakan energi bersih, biaya produksi sudah bisa ditekan dan akhirnya harga dalam kembali normal.Â
Sebagai kesimpulan, memilih untuk hidup lebih bersih pasti membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit, namun dalam jangka panjang tentu ada sederet manfaat seperti hidup yang lebih sehat, bumi yang tidak rusak dan masyarakat yang bisa lebih sejahtera. Selalu ada harga yang harus dibayar, tapi dibutuhkan langkah cepat agar dampak negatif yang kita rasakan di masa depan bisa diminimalisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H