Mohon tunggu...
Nidha Ul Khasanah
Nidha Ul Khasanah Mohon Tunggu... Freelancer - mahasiswa sosial humaniora yang berusaha untuk humanis

Pendatang baru di Kompasiana, yang tidak tahu menahu harus menulis apa

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Witing Tresno Jalaran Soko Soto

15 September 2021   21:14 Diperbarui: 15 September 2021   21:17 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Soto Semarang yang saya makan saat itu/dokpri

Tahun 2013 saya dan ibu berkunjung ke Semarang untuk kesekian kalinya. 

Tapi kali ini ada yang berbeda. Biasanya saya dan ibu akan makan di warung pecel lele, warung bakso, mie ayam, atau tempat makan dengan menu utama ayam krispi yang sepertinya tidak perlu disebutkan nama restonya (hahaha). Setelah makan dan menuntaskan urusan Ibu di Semarang kami membeli wingko babat atau bandeng presto yang tempatnya tidak jauh dari simpang lima untuk oleh-oleh. Tapi saat itu berbeda. 

Saya dan ibu ditengah kerepotan barang yang kita bawa memilih soto sebagai santapan makan siang kami saat itu. Ada warung kecil bertuliskan soto di seberang jalan. 

Turun dari angkutan saya dan ibu bergegas ke warung tersebut. Kami memesan 2 mangkuk soto yang sudah disertai nasi dan 2 wedang jeruk. Saya dan ibu duduk berhadapan. 

Tanpa sengaja saya melihat orang yang duduk di bangku seberang tengah memeras jeruk limau pada makanan di depannya. Makanan itu disajikan dengan mangkuk berukuran sedang dan memiliki kuah berwarna ke kekuningan. Melihat pemandangan tersebut pikiranku bergumam "oh mungkin itu opor". 

Tapi dugaan itupun tidak yakin karena kuahnya tidak terlihat sekuning dan sekental opor. 

Apalagi sepertinya sang pedagang tidak menjual selain soto, karena seingat saya hanya bertuliskan soto di dinding warungnya. Tapi dugaan kalau makanan tersebut adalah opor benar-benar meleset saat orang tersebut memberikan kecap pada makanan kuah kuning itu. 

Dalam memoriku yang kala itu masih disebut remaja sok tau, makan opor tidak perlu diberi kecap, sedangkan orang tersebut menambahkan kecap. "Hmm orang ini aneh" pikirku kala itu.

Tapi keanehan yang saya rasakan bertambah dengan keheranan saat sang Ibu penjual memberikan 2 mangkuk ke hadapan saya dan Ibu. 

Why?. Karena dua mangkuk di meja saya saat itu memiliki warna kuah yang sama persis dengan makanan orang yang duduk di bangku seberang. Yup, si kuah warna kuning. Saya dan Ibu sama-sama kebingungan. 

Karena bagi saya ini bukan soto. Ini entah makanan apa. Bersyukurnya, Ibu saat itu ingat bahwa soto di Semarang berbeda dengan soto yang biasa kami makan di Tegal. 

Perlahan Ibu menjelaskan dengan singkat mengenai perbedaan ini. Akhirnya kami, lebih tepatnya saya makan soto tersebut bagaikan juri master chef. Memasukkan makanan ke mulut sedikit-sedikit dan diselingi komentar, hahahaha. 

Apakah soto tersebut tidak saya habiskan?. Oh tentu saya habiskan, karena bocah tengil di tahun 2013 itu tengah kelaparan dan hanya kaget saja dengan jenis soto yang berbeda ini.

Keheranan yang saya alami kala itu bukan tanpa alasan. 

Terdapat perbedaan soto yang cukup jauh dari soto yang biasa kami makan yaitu Soto Tegal. Soto dihadapan kami saat itu memiliki kuang kekuningan dengan isi mie putih atau soun, daun seledri, dan ayam suwir. Tersedia kecap, sambal, dan jeruk limau yang bisa ditambahkan dalam soto tersebut. 

Mungkin bagi banyak orang, terutama di pulau jawa ini tidak heran dan terlihat seperti soto pada umumnya. Eits, tapi bagi kami, warga Tegal, yang sayangnya belum tahu dan belum pernah memakan soto di daerah lain timbul rasa heran dan bingung. 

Karena soto Tegal cukup berbeda dengan soto yang biasa ditemukan terutama di Pulau Jawa. Kuah pada soto tegal berwarna coklat pekat. Hal ini timbul karena sambal tauco yang ditambahkan pada soto ketika akan disajikan. 

Kuah ini menciptakan rasa pedas, gurih, sedikit manis dan sedikit asam. Untuk isinya pada soto tegal terdapat tauge, irisan daun bawang, dan ayam atau babad (ketika kita berkunjung di warung soto tegal umumnya terdapat 2 jenis soto yaitu soto ayam dan soto babad, silakan pilih sesuai selera saja).

Tapi bukan berarti saya tidak menyukai soto selain soto Tegal. Soto Semarang yang saya makan di tahun 2013 dengan perasaan terheran-heran itu justru menjadi gerbang bagi saya untuk bisa adaptasi dengan soto-soto di daerah lainnya. Misalnya ketika saya ke Solo, akhirnya saya tidak lagi heran dan kaget dengan soto yang saya makan. 

Pun ketika akhirnya harus kuliah di Jogja, saya bisa menerima dengan legowo bahkan akhirnya terbiasa dengan soto di Jogja dengan kuah bening. Bukan hanya soto, ternyata insiden makan soto di semarang ini juga bisa membuat saya lebih terbiasa dengan makanan di daerah lain yang sering kali berbeda cita rasa dengan makanan di Tegal.

Insiden soto di semarang ini menjadi momentum penting (ceilehh) untuk mendorong saya selalu mencoba makan soto di setiap daerah yang saya datangi. Mudahnya, soto menjadi makanan "pembuka" bagi saya ketika berkunjung ke kota lainnya sebelum saya mencicipi makanan khas di kota tersebut. Jika diingat-ingat, saya dan soto semarang ini seperti memiliki love-hate relationship. Karena dulu awalnya saya begitu tidak suka tapi sekarang justru dengan senang hati menghabiskan hahaha. 

Sampai dengan kurang ajarnya dulu menyebut soto semarang sangat tidak enak. Padahal bukan tidak enak, namun tidak terbiasa saja sehingga agak berbeda dari selera soto yang saya santap biasanya. Sedangkan sekarang, saya justru sering kangen dengan Soto Semarang karena soto ini menyimpan memori tersendiri bagi saya.

Soto semarang ini juga membuat saya terbiasa menerima dan mencintai perbedaan. Eits, bukan hanya perihal perbedaan soto aja lho. Tapi perihal lain yang bertendensi memberikan culture shock. Jadi jika harus menjelaskan bagaimana soto menurutku, maka witing tresno jalaran soko soto menjadi kalimat yang saya pilih untuk menjelaskan hal ini. mengapa?. 

Karena saya jadi cinta dan terbiasa dengan  banyak hal berbeda karena perihal soto Semarang ini. Soto semarang membuat saya mengenal dan sadar bahwa banyak hal berbeda yang berjalan beriringan dengan kehidupan. 

Hidup bukan tentang diri sendiri, melainkan ada banyak perbedaan yang akan kita temukan dalam perjalanan kehidupan. So, hei soto Semarang yang saya makan beberapa tahun silam, terima kasih ya, karena kamu adalah "gerbang" bagi saya untuk mengenal, menghargai, dan mencintai perbedaan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun