Perlahan Ibu menjelaskan dengan singkat mengenai perbedaan ini. Akhirnya kami, lebih tepatnya saya makan soto tersebut bagaikan juri master chef. Memasukkan makanan ke mulut sedikit-sedikit dan diselingi komentar, hahahaha.Â
Apakah soto tersebut tidak saya habiskan?. Oh tentu saya habiskan, karena bocah tengil di tahun 2013 itu tengah kelaparan dan hanya kaget saja dengan jenis soto yang berbeda ini.
Keheranan yang saya alami kala itu bukan tanpa alasan.Â
Terdapat perbedaan soto yang cukup jauh dari soto yang biasa kami makan yaitu Soto Tegal. Soto dihadapan kami saat itu memiliki kuang kekuningan dengan isi mie putih atau soun, daun seledri, dan ayam suwir. Tersedia kecap, sambal, dan jeruk limau yang bisa ditambahkan dalam soto tersebut.Â
Mungkin bagi banyak orang, terutama di pulau jawa ini tidak heran dan terlihat seperti soto pada umumnya. Eits, tapi bagi kami, warga Tegal, yang sayangnya belum tahu dan belum pernah memakan soto di daerah lain timbul rasa heran dan bingung.Â
Karena soto Tegal cukup berbeda dengan soto yang biasa ditemukan terutama di Pulau Jawa. Kuah pada soto tegal berwarna coklat pekat. Hal ini timbul karena sambal tauco yang ditambahkan pada soto ketika akan disajikan.Â
Kuah ini menciptakan rasa pedas, gurih, sedikit manis dan sedikit asam. Untuk isinya pada soto tegal terdapat tauge, irisan daun bawang, dan ayam atau babad (ketika kita berkunjung di warung soto tegal umumnya terdapat 2 jenis soto yaitu soto ayam dan soto babad, silakan pilih sesuai selera saja).
Tapi bukan berarti saya tidak menyukai soto selain soto Tegal. Soto Semarang yang saya makan di tahun 2013 dengan perasaan terheran-heran itu justru menjadi gerbang bagi saya untuk bisa adaptasi dengan soto-soto di daerah lainnya. Misalnya ketika saya ke Solo, akhirnya saya tidak lagi heran dan kaget dengan soto yang saya makan.Â
Pun ketika akhirnya harus kuliah di Jogja, saya bisa menerima dengan legowo bahkan akhirnya terbiasa dengan soto di Jogja dengan kuah bening. Bukan hanya soto, ternyata insiden makan soto di semarang ini juga bisa membuat saya lebih terbiasa dengan makanan di daerah lain yang sering kali berbeda cita rasa dengan makanan di Tegal.
Insiden soto di semarang ini menjadi momentum penting (ceilehh) untuk mendorong saya selalu mencoba makan soto di setiap daerah yang saya datangi. Mudahnya, soto menjadi makanan "pembuka" bagi saya ketika berkunjung ke kota lainnya sebelum saya mencicipi makanan khas di kota tersebut. Jika diingat-ingat, saya dan soto semarang ini seperti memiliki love-hate relationship. Karena dulu awalnya saya begitu tidak suka tapi sekarang justru dengan senang hati menghabiskan hahaha.Â