Merasa bahwa diri sendiri memiliki kekurangan adalah hal yang wajar, toh manusia memang tidak ada yang sempurna. Tapi  bagaimana jika perasaan tersebut sangat berlebihan porsinya bahkan hingga merasa menjadi manusia yang gini-gini aja dan cenderung tidak berguna?
Perasaan tersebut dapat diartikan bahwa kita berada dalam kungkungan rasa insecure. Mengenai insecure, rasa-rasanya istilah ini sangat familiar mengingat seringnya digunakan terutama bagi kelompok tertentu, seperti kaum muda yang tengah mengalami quarter life crisis.Â
Namun tidak menutup kemungkinan insecure dapat menghampiri siapapun, dengan status sosial apapun, dan usia berapa pun.
Secara singkat insecure diartikan sebagai suatu perasaan berkaitan dengan penilaian pada dirinya yang mengarah pada perasaan inferior atau krisis kepercayaan diri. insecure tidak hadir begitu saja, melainkan ada sesuatu yang berhasil memicunya.Â
Menurut Melanie Greenberg terdapat 3 (tiga) penyebab umum seseorang merasa insecure, yaitu adanya incident penolakan atau kegagalan terutama yang belum lama terjadi, dorongan dari kecemasan sosial, dan dorongan dari sikap perfeksionisme.
Tidak semua orang "menyambut" kehadiran kita, sehingga penolakan bisa saja terjadi pada diri kita dimana dan kapan saja. Tidak bisa dipungkiri penolakan tersebut sedikit banyaknya akan mempengaruhi kondisi perasaan kita termasuk munculnya rasa rendah diri.Â
Pun dengan kegagalan yang bisa saja menghampiri, karena tidak semua usaha kita membuahkan keberhasilan bukan?. Walaupun kegagalan menjadi keadaan yang bisa kita maknai sendiri.Â
Seperti ketika kita mengupayakan untuk menjadi juara 1 pada sebuah kompetensi, tapi ternyata hasil berkata lain, kita tidak mendapatkan juara. Hal ini adalah kegagalan jika kita hanya fokus menjadi juara 1.Â
Tapi kondisi ini bukanlah kegagalan jika kita melirik pada hasil "lain" seperti pengetahuan yang semakin bertambah, pengalaman mengikuti kompetensi, atau keberhasilan yang jarang dinilai berupa keberanian karena sudah mencoba mengikuti kompetensi. Â
Selain penolakan dan kegagalan, insecure bisa ditimbulkan karena kecemasan sosial. Sebagai makhluk sosial, aktivitas kita tidak luput dikelilingi oleh interaksi dengan orang lain, sehingga tidak jarang sesuatu yang kita pilih tidak terlepas dari pengaruh orang lain termasuk dipengaruhi oleh standar masyarakat yang tidak tertulis tapi sangat nyata keberadaannya.Â
Kurangnya kontrol dan pendirian yang kuat pada apa yang menjadi pilihan kita, membuat timbulnya kecemasan sosial, sehingga muncul ketakutan pada evalusi yang dilakukan orang lain pada diri kita, seperti judgment dan bullying. Dorongan dari kecemasan sosial ini akan mengarahkan kita pada rasa insecure.
Penyebab insecure berikutnya terkait dengan sikap perfeksionisme yang kita miliki. Penyebab insecure yang ketiga ini mengingatkan saya pada sebuah istilah bahwa realita tidak seindah ekspektasi, sehingga apa yang kita pikirkan tidak selalu sejalan dengan kenyataan.Â
Walaupun istilah tersebut sudah mondar-mandir didengar, tapi tetap saja ekspektasi dan segala perencanaan super tinggi tidak serta merta mampu dikurangi begitu saja. Ini menunjukan adanya sikap perfeksionisme yang kita miliki.Â
Perencanaan dan tolok ukur yang tinggi sering kali menjadi patokan dalam melakukan berbagai hal. Namun kenyataan memang tidak selalu sejalan dengan perencanaan dan keinginan, justru acap kali menimbulkan kekecewaan. Kemudian terbitlah insecure, karena kekecewaan pada diri sendiri. Merasa bahwa diri ini tidak ada hebatnya sama sekali, lantas mengkerdilkan kemampuan diri.
Insecure juga semakin menguat ketika kita sibuk dengan aktivitas membandingkan diri dengan orang lain. Apalagi di masa yang serba digital ini, dimana dengan mudah kita melihat aktivitas orang lain melalui media sosial.Â
Media sosial menampilkan orang lain dengan indahnya pergi kesana kemari, travelling dari satu tempat ke tempat lain, punya relationship goals, meraih berbagai penghargaan, sudah wisuda, kerja di perusahaan benefit, mempunyai usaha sendiri yang laris manis, hingga postingan pernikahan teman.Â
Melihat postingan berupa gemerlap kehidupan penuh keberhasilan dan kebahagian dari orang lain membuat kita lantas membandingkannya dengan kondisi diri sendiri.Â
Jika kita merasa pencapaiannya masih dibawah postingan-postingan di media sosial tersebut, maka sangat dimungkinkan timbul perasaan gagal, cemas, hingga merasa tidak berguna, yang mengartikan bahwa kita tengah insecure. Padahal media sosial bukan rekapitulasi dari keseluruhan apa yang orang lakukan.Â
Media sosial sering digunakan sebagai instrumen branding diri, sehingga yang ditampilkan sepenuhnya dikendalikan oleh sang penggunanya. Orang yang menampilkan kebahagian terus menerus bukan berarti dia luput dari kesedihan, tapi memang dia hanya menghendaki hanya kebahagiaan yang ingin ditunjukkan lewat media sosialnya. Tapi memang benar, rumput tetangga sering kali terlihat lebih hijau.
keberadaan insecure tidak selamanya buruk, kok. Insecure dengan porsi yang tepat bisa membawa kita pada kesadaran untuk berbenah diri dan menjadikan diri kita pada versi yang lebih baik.Â
Dalam perjalanan berbenah diri mulailah dengan menghargai diri sendiri. Ketika kita mulai berbenah untuk lebih meningkatkan produktivitas dan sebagainya, tapi tidak ada perasaan menghargai diri sendiri, maka apa yang kita upayakan hanya bertahan sebentar.Â
Karena tanpa menghargai diri sendiri terlebih dahulu, maka sejatinya apa yang tengah kita lakukan hanya menjadi upaya pembuktian pada orang lain, usaha memenuhi standar masyarakat, atau upaya menghindari kecemasan sosial.Â
Pada satu waktu mungkin kita akan bahagia atas pencapaian tersebut, tapi hal ini tidak lama, karena kita akan dengan cepat kembali pada rasa insecure jika upaya  pencapaian tersebut tidak cukup untuk membuktikan pada orang lain, tidak cukup memenuhi standar masyarakat yang semakin tinggi, atau tidak mampu untuk menghindari kecemasan sosial yang semakin bertambah. Jadi, yuk kurangi porsi insecure kita, tidak harus sepenuhnya, cukup dengan perlahan saja. Eits, dan jangan lupa untuk menghargai dan menyayangi diri sendiri terlebih dahulu. Â
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H