Mohon tunggu...
Nida Noor Faridah
Nida Noor Faridah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

ambivert

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Pemukiman Liar di Kota Surabaya Tahun 1945-1960

26 Desember 2023   00:27 Diperbarui: 26 Desember 2023   01:58 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setelah berakhirnya perang meraih kemerdekaan, banyak sekali perubahan yang terjadi termasuk dengan perekonomian di Indonesia, yang awalnya ekonomi kolonial berubah menjadi ekonomi nasional. Dampak yang ditimbulkan dari perubahan ini berpengaruh pada semua lapisan, baik bagi tingkatan pusat maupun tingkatan daerah. Pada awal kemerdekaan, kota-kota telah tumbuh menjadi daya tarik yang amat menggiurkan bagi masyarakat di sekitar kota. Tanah yang merupakan hal yang paling penting untuk bermukim mulai diperebutkan guna menempati kota.

Kota Surabaya adalah salah satu kota yang memiliki banyak penduduk beserta segala akitivitasnya mampu menjadi kota kedua setelah Batavia dalam urusan ekonomi. Peranan Surabaya sebagai kota penting otomatis mempengaruhi keadaan sosial penduduk kota Surabaya. Dari tahun ke tahun penduduk Surabaya cenderung meningkat dengan tingkat migrasi yang tinggi.

Pada awal tahun 1950-an, kota Surabaya dihadapkan pada situasi dimana dalam tenggat waktu beberapa tahun saja jumlah penduduk yang ada meningkat secara drastis dari yang awalnya kurang lebih 400.000 orang pada masa kependudukan Jepang, menjadi lebih dari 500.000 orang. Jumlah keseluruhan penduduk kota Surabaya 714.898 dengan persentase jumlah penduduk laki-laki kota Surabaya 49,46 % dan jumlah penduduk perempuannya 50,54 % . Meningkatnya jumlah penduduk yang sangat cepat telah memunculkan beragam persoalan. Salah satunya adalah kebutuhan tempat tinggal bagi pendatang baru. Munculnya ketidakseimbangan jumlah penduduk dengan lahan yang ada menyebabkan sebagian besar penduduk tidak memiliki tempat tinggal.

Surabaya tahun 1953 memiliki luas sekitar 82.800.000 m, dari keseluruhan luas kota, yang tergolong tanah kering hanya seluas 49.300.000 m dan itupun belum termasuk ke dalam tanah-tanah untuk fasilitas umum seperti kuburan, pembuangan sampah, sekolahan, pertamanan, jalanan-jalanan dan persawahan yang secara keseluruhan diperkirakan bisa mendapat sekurang-kurangnya 50% dari luas tanah kering dan jika dihitung lagi yang tersisa untuk pemukiman hanya 24.650.000 m. Jumlah bangunan yang ada di kota Surabaya saat itu adalah 63.000 buah. Karena kurangnya atau ketidakseimbangan antara bangunan yang ada dengan lahan yang disediakan, separuh penduduk yang tidak memiliki tidak memiliki tempat tinggal, akhirnya menyewa dan mendirikan rumah-rumah sendiri secara tidak sah di berbagai tempat, hal inilah yang disebut dengan pemukiman liar.

Dinas Perkembangan Kota Surabaya pada tahun 1953 memiliki laporan bahwa bangunan liar yang telah berdiri tidak kurang dari 7.000 buah. Bangunan liar itu tersebar hampir di semua penjuru kota. Bahkan lokasi kuburan pun, terutama kuburan Tionghoa dijadikan tempat tinggal. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan menyediakan tempat-tempat di pinggir kota yang masih luas, akan tetapi hal itu tidak mengurangi rasa "haus tanah" yang dimiliki oleh para pendatang dan masyarakat Surabaya.

  • Kampung Dupak Masigit

Kampung Dupak Masigit merupakan suatu perkampungan yang berada di kawasan Tembok Dukuh (Surabaya bagian barat). Kawasan ini mulai ramai ditempati oleh para pemukim liar pada awal 1950-an. Mula-mula mereka hanya membuat gubuk-gubuk alakadarnya guna tersedianya tempat untuk mereka tidur. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka mulai menata rumah-rumah secara teratur dan tertata sehingga terbentuklah suatu kampung baru, meskipun begitu status mereka sebagai pemukim liar tetap tidak bisa dirubah. Penghuninya cukup banyak, yaitu mencapai 1.742 jiwa dan dengan 375 rumah yang menjadi tempat tinggal.  Karena status kepemilikan tanah mereka yang tidak jelas, baik status hak milik atau hak sewa, pada 1961 mereka membentuk Delegasi Rakyat Kampung "Dupak Masigit," yang bertugas untuk mengurus legalitas pemukiman mereka ke Wali Kotapraja Surabaya.

  • Sekitar Jalan Diponegoro dan Jalan Adityawarman

Dua jalan ini yaitu jalan Diponegoro dan Adityawarman sudah menjadi salah satu Kawasan liar di daerah Surabaya yang ditempati para pendatang. Mereka telah membangun rumah-rumah kecil yang sekedar bisa dijadikan tempat untuk berteduh. Di jalan Diponegoro No.127 sendiri, sudah terdapat 49 warga pendatang yang membangun rumah seadanya. Setelah bertahun-tahun mereka tidak mendapat kejelasan mengenai status tempat tinggal mereka, akhirnya pada tanggal 10 Juni 1961, salah seorang perwakilan mereka yaitu M.Amir, mengirimkan surat kepada Wali Kotapraja Surabaya yang berisi permohonan untuk disahkannya kompleks perumahan mereka dengan status hak sewa atau hak milik. Hal ini juga dilakukan oleh Soeratno, salah seorang pendatang yang menghuni kawasan liar daerah Jalan Adityawarman. Soeratno sudah membangun rumah di jalan Adityawarman sejak tahun 1950. Beliau sejak awal sudah sadar telah membangun rumah tanpa prosedur yang benar, hal ini ternyata dicontoh oleh orang-orang yang akhirnya menempati daerah tersebut.

  • Ngaglik Baru

Sekitar tahun 1955 tepatnya pada tanggal 20 Januari, masyarakat yang tinggal di daerah Ngaglik Baru yang sudah tergabung dalam panitia perdjoangan tanah dan rumah Ngaglik Baru mengirimkan surat pada ketua DPD sementara Kota Surabaya. Isi surat tersebut adalah permohonan yang berasal dari 160 kepala keluarga yang tinggal di daerah Ngaglik Baru untuk segera mengsahkan gang-gang di komplek mereka dan segera diberi nama dengan tujuan untuk memudahkan ketika melakukan pengiriman surat melalui kantor pos. dan juga dalam isi surat tersebut mereka meminta agar dibuatkan selokan, saluran air minum, dan perbaikan gang yang lainnya.

Namun ternyata, permohonan warga Ngaglik Baru ini ditolak pemerintah Kota dengan alasan berdasarkan data-data yang ada, daerah Ngaglik Baru ini merupakan Kawasan liar yang berdiri diatas tanah milik kota Surabaya, dan bangunan-bangunan yang berada di daerah tersebut juga dibangun tanpa memperhatikan garis sempadan yang telah ditetapkan. Kepala pekerjaan umum Kota Surabaya yang pada saat itu menjabat yaitu Ir. Tan Giok Tjiauw menyarankan agar bangunan-bangunanyang berada di wilayah kampung Ngaglik Baru ini agar dibongkar. Penguatan status pemukiman di Ngaglik baru juga terdapat pada surat yang dikirimkan oleh Kepala perusahaan tanah dan bangunan kepada DPD Sementara Kota Surabaya pada tanggal 4 November 1955 yang berisi tentang status yang menyatakan bahwa daerah tersebut liar.

  • Kampung Tambakrejo dan Kapas Krampung

Dua perkampungan ini hanya dipisahkan oleh sebuah jalan besar yang melintang dari arah  barat ke timur. Awalnya, dua perkampungan ini merupakan lahan kosong milik pemerintah Kota Surabaya yang direncanakan untuk mengalokasikan warga yang tinggal di Kawasan liar daerah Surabaya timur. Tetapi sebelum ditetapkan menjadi lahan pemukiman, telah terjadi Tarik ulur antar berbagai pihak yang terlibat, diantaranya para penghuni liar di daerah tersebut, perusahaan pengembang (developer), dan juga pemerintah Kota Surabaya. Perencaan untuk diresmikannya daerah ini terjadi pada tahun 1950, tetapi sebelum peresmian ini tejadi, ternyata di daerah tersebut sudah terdapat warga yang tinggal secara tidak sah/liar dengan jumlah yang tidak sedikit yaitu mencapai ratusan orang.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun