Banyak berseliweran di sosial media kabar Palestina hari ini, banyak berita yang melaporkan bahwa Palestina dan Israel telah menyepakati gencatan senjata per 19 Januari 2025. Seperti kabar jeda penderitaan bagi saudara-saudara kita di sana, karena nyatanya dalam sejarah, Israel sering ingkar pada janjinya. Terbukti masih terjadi penyerangan Ke Gaza, jelang gencatan senjata.Â
Israel masih melakukan gempuran-gempuran besar pada masyarakat sipil, entah di mana hati nurani mereka. Bertahun-tahun Palestina dan Israel tidak pernah ada dalam garis kedamaian. Dalam perjalanan perang itu, ternyata ada seseorang yang menceritakan dan menulisnya menjadi sebuah buku yang cukup mengesankan.Â
Dia adalah orang yang memberi sudut pandang lain mengenai Palestina, dalam tulisannya, dia menceritakan dengan rinci bagaimana perasaan sebenarnya ketika menjadi warga Palestina. Aslinya seperti apa, kenyataannya seperti apa, saat kita biasanya hanya melihat dari media, dari foto, dan dari tayangan. Ia menceritakan bagaimana proses peliputan yang bisa kita saksikan sampai hari ini, setiap hari, setiap jam, detik dan menit yang sangat menegangkan.
Ia menceritakan bahwa setiap insan disana perasaannya jauh dari rasa damai, merasakan jauh dari ketenangan, hari-harinya diliputi kegelisahan. Menurutnya, kemerdekaan sesungguhnya adalah saat mereka tetap hidup sampai hari esok. Tidur mereka tak tenang, mereka tidak bersama keluarganya, kehilangan tempat tinggal, kehilangan saudara, kehilangan kehidupan.Â
Buku ini berjudul 'A Diary Of Genoside' yang ditulis oleh Atef Abu Saif, yang tak lain adalah Menteri Kebudayaan Otoritas Palestina. Dia adalah orang yang usianya dihabiskan melalui perang bertahun-tahun, bahkan ia lahir di pengungsian pada tahun 1973. Ia menceritakan banyak hal semasa hidupnya dalam buku ini, menuliskan catatan pembantaian dari tanggal 7 Oktober sampai 30 Desember 2023.Â
Setiap halamannya mengandung rasa perih, seperti luka yang digarami, namun saya tertarik membahas kalimat ajaib yang ada dalam buku yang ditulis oleh Atef Abu Saif ini. Seperti hipnotis bagi saya, ada sebuah kalimat yang bunyinya begini, "Kita melaporkan karena kita peduli, setidaknya kita akan mempersulit para pembunuh itu menyangkal kejahatan mereka."
Tepat di halaman 10, kalimat tersebut tertulis dengan cetak tebal. Seperti mengingatkan kita, bahwa menjadi jurnalis, penulis, penyair, dan fotografer disana adalah pemberi bukti bahwa sejarah itu ada, mereka juga adalah bagian dari sejarah itu. Dulu, saat saya belum mengerti kenapa banyak relawan media Di Jalur Gaza, untuk apa mereka ke sana? untuk apa mereka menaruhkan nyawa? kesana untuk apa? Melaporkan dan meliput kematian?
Saat saya membaca kalimat itu, terbuka pikiran saya, karena dalam buku ini Atef Abu Saif menceritakan banyak sudut pandang mengenai cara kerja media di sana. Mereka bertaruh nyawa untuk melaporkan dan menyiarkan kabar ke penjuru dunia, membicarakan bahwa mereka benar-benar pembunuh, mengungkapkan bahwa mereka benar-benar seperti bukan manusia. Di halaman pertama pada bagian kata pengantar, digambarkan mengenai penderitaan orang-orang yang mengingat, banyak hal tentang penulis, fotografer, peliput dan penyair.
Mereka diceritakan berguguran seperti lalat yang mati tiba-tiba, karena mereka dianggap sebagai biang dari semua desakan dunia kepada Israel. Media dianggap sebagai perantara antara masyarakat Gaza dengan dunia, Israel tidak suka keberadaan pers di sana. Di tengah masyarakat, pers dianggap lebih tahu tentang perang, mereka banyak ditanyai mengenai kapan berakhirnya ini semua, mereka ditanyai tentang apalagi yang akan terjadi besok.
Padahal pers juga sama saja, mereka adalah manusia biasa, mereka hanya membantu menyiarkan, dan memberikan pandangan pada dunia, memberi bukti bahwa kejahatan itu nyata. Semangat juang yang ditulis Atef sangat patut ditiru untuk membakar semangat kita, untuk terus menuliskan segala hal yang kita lihat serinci mungkin. Karena tidak lain untuk membuktikan pada dunia bahwa setiap inci kehidupan di belahan dunia ada dan menjadi bagian dari perjalanan sejarah.Â