Mohon tunggu...
Azizah Nida Ilyas
Azizah Nida Ilyas Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

wanna be a jurnalist, keep trying and fighting for my dreams

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Tuhan dan Menerima Takdir

13 April 2013   23:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:14 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Kita tidak bisa memilih dari mana kita datang, tapi kita bisa menentukan kemana kita akan pergi dari sana”

Itulah sepenggal dialog yang dikatakan Jemy di bagian akhir pementasan teater yang berjudul “Gue Ama Tuhan”. Mengangkat cerita tentang perjalanan spiritual dari masing-masing pemainnya, Echo Chotib, selaku sutradara mempu mengemasnya dengan apik. Dewi, Jemy, dan Somad sebagai tokoh dalam cerita, memiliki latar belakang dan masalah berbeda. Kemudian, mereka dipertemukan dalam satu frame yang sama.

Dewi dan Jemy adalah sahabat yang sudah lama tak berjumpa. Sejak kematian Maryam, sahabat Dewi sekaligus kekasih Jemy, komunikasi di antara mereka terhenti. Jemy yang kehilangan kekasihnya berubah menjadi seorang homoseksual. Akibat trauma masa lalu itu pula, Jemy terjebak dalam lingkungan sosial yag serupa.

Kemudian, Dewi yang beru saja mengakhiri hubungan percintaanya memalui sebuah tragedi berdarah. Ia membunuh pacarnya lantaran tidak tahan selalu diperlakukan kasar oleh pacarnya tersebut.

Sedangkan Somad seorang perampok yang harus menghidupi dua istri dan lima anak. Ia terhimpit kebutuhan ekonomi. Ia pun menghalalkan segala cara untuk mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk merampok. Ia menilai perkerjaanya itu sebagai bagian dari jihad.

Kisah berawal di malam tahun baru. Somad mengendap-endap memasuki rumah Dewi. Ia berniat untuk merampok. Setelah semua barang yang ia inginkan terkumpul, tanpa ia sadari Dewi tengah memperhatikannya.

Karena kaget melihat seseorang bertopeng hitam yang sedang mengubrak-ngabrik kamarnya, Dewi pun memukul Somad hingga pingsan.  ia bingung harus menghubungi siapa dan akhirnya ia memilih untuk menelepon Jemy, sahabat lamanya.

Selang beberapa waktu kemudian, Jemy datang. Pertemuan kembali antara Dewi dan Jemy mengingatkan Jemy pada luka lamanya yang tak mau lagi ia kenang. Dewi yang merasakan benar perubahan amat besar dalam diri Jemy pun angkat bicara mengenainya.

Perbincangan tentang pilihan dan takdir pun dimulai. Ketiga tokoh tersebut mencoba memahami dirinya dan takdir yang telah diberikan Tuhan, serta pilihan yang harus dijalaninya.

Dewi mencoba untuk berdamai dengan hatinya yang tak tenang setelah peristiwa pembunuhan pacarnya. Di sisi lain, Jemy harus segera sadar akan perubahan orientasi seksualnya yang tidak seharusnya terjadi.

Trauma masa lalu mereka berdua sudah menjadi takdir yang diberikan Tuhan. Kisah pilu yang menyakitkan itu sudah terlanjur digariskan. Lantas, yang menjadi pertanyaan di antara keduanya hanyalah bagaimana mereka harus menjalaninya dan bertahan di atas lahan pilu itu.

Pertentangan batin seorag kekasih yang telah membunuh pacarnya sendiri begitu kental terlihat dalam tokoh Dewi yang diperankan oleh Laila Uliel El Na’ma.  Kepiawaiannya berekspresi dan memainkan emosionalnya membuat karakter Dewi yang dilanda depresi terlihat jelas saat ia membakar sebatang rokok dan menghisapnya.

Begitu pula dengan tokoh Jemy yang diperankan Muhammad Ramdhan. Dengan badannya yang besar dan tidak terlalu tinggi juga gaya pakaiannya yang seperti preman, penonton sempat terkecoh karena ternyata dia sebenarnya seorang homoseksual.

Namun, bahasa tubuh yang digunakan Ramdhan untuk memerankan Jemy dapat menegaskan kembali kepada para penonton akan karakternya sebagai homosekual.

Sedangkan tokoh Somad yang dilakonkan oleh Muhammad Suhail, memang tidak banyak berkontemplasi. Namun, beberapa dialog yang ia lontarkan menjadi batu sandungan bagi Jemy dan Dewi untuk kembali mengingat Tuhan.

Tokoh Somad pula yang membawa sedikit humor dalam pentas yang berlangsung pada hari Sabtu (6/4) pekan lalu. beberapa adegan yang diperankan Somad dapat membawa penonton tergelak.

Alur ceritanya yang ditampilkan oleh Teater el Na’ma ini terasa ringan karena berawal dari peristiwa sehari-hari. Menariknya, pesan yang ingin disampaikan dalam pentas ini cukup dalam, tentang bagaimana seharusnya kita sebagai manusia mengenal siapa Tuhan yang kita sembah selama ini. Jika kita mengenalNya, maka takdir apa pun yang telah Ia gariskan akan senatiasa kita terima dengan lapang dada.

Kekecewaan yang selama ini kita rasakan akibat sebuah kegagalan atau kehilangan akan lebih memiliki arti dalam perjalanan hidup kita jika kita mengenal Tuhan. Pesan moral itulah yang berusaha Echo Chotib ingin sampaikan dalam teater yang berjudul “Gue Ama Tuhan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun