Terungkaplah rahasia bahwa sesungguhnya aku menantikannya. Dia, aku tidak mengenalnya, bahkan untuk sekadar mengetahui namanya pun tidak – eh, belum lebih tepatnya. Malam hari aku tutup pintu rapat-rapat, aku tarik selimut tinggi-tinggi. Di luar hujan, udara sangat dingin. Tidak baik bagi orang yang menderita asma sepertiku. Malam pun kian larut. Aku mematikan lampu neon kemudian menyalakan lampu tidur bercahaya merah redup di sisi kiri atas kepalaku. Petualangan pun dimulai saat jiwa mulai sadar-tak sadar. REM mengantarkanku menuju bagian indah dalam lelap.
Seseorang menunggu di atas bangku kayu bercat putih. Ia duduk dengan tegap menghadap sungai. Mungkin sungai itu adalah Sungai Nil yang menjelma di Indonesia. Ia tak gusar. Sesekali dilemparkannya senyum kepada ikan-ikan yang rakus memakan kacang polong yang dilemparkannya. Aku tahu, ia menungguku, namun aku tak mau cepat-cepat duduk di sampingnya. Aku hanya mengamatinya dari belakang. Aku punya taktik sendiri untuk bisa mendekatinya dengan cara yang lebih romantis.
Sesekali ia melihat jam tangan peraknya yang dililitkan pada pergelangan kiri. Kacang polongnya telah kandas. Rupanya ia kehabisan aktivitas. Aku bisa menerka benaknya bahwa ia tidak biasa menunggu tanpa hal lain yang dilakukan selain diam. Aku mengerti. Kulihat jam tangan berwarna serupa dari pergelangan kiriku. Kupandang barat. Dan, inilah saat yang tepat untuk menghampirinya dari belakang. Ya, saat sunset adalah detik yang paling aku sukai. Tenang, jingga, dan romantis.
“Hey,” kusapa dia.
-contunue-
http://nidafadlilah.blogspot.co.id/2015/12/laki-laki-dan-seikat-dandelion.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H