Masih ingatkah dengan kejadian G30SPKI? Ya, kejadian itu adalah salah satu tragedi nasional yang sangat menggemparkan. Jendral-jendral yang jaya pada zamannya dimasukkan ke lobang buaya dan ditindas habis-habisan. Namun, dalam taburan huruf dari awal hingga akhir nanti bukanlah menguak tragedi tragis G30SPKI, tetapi tulisan ini akan menjadi hadiah bagi seseorang yang tepat hari ini adalah hari jadinya.
Aku masih ingat, almarhumah nenek selalu bercengkrama dari balik gorden kamarnya yang berwarna cokelat tua. Aku adalah salah satu cucunya yang sering diceritakan kisah-kisah bersejarah. Salah satu kisah yang unik dan favorit adalah kisah kelahiran salah satu putrinya. Putri yang kini menjadi seseorang yang sangat berpengaruh bagi kehidupanku. Putri itu adalah ibuku.
1 Oktober 1965 – Tengah malam telah lewat, langit begitu pekat dengan warnanya yang gelap. Hanya secercah cahaya bulan yang saat itu masih bertahan untuk memberi sedikit sentuhan hangat ke sekeliling atmesfer bumi. Malam itu sangat mencekam. Hampir sebagian besar warga Indonesia dilanda kecemasan akibat tragedi penindasan jendral-jendral. Seorang ibu yang tengah hamil tua pun mengalami kecemasan yang sangat. Bukan hanya cemas karena tragedi penindasan jendral-jendral saja yang membuat sang ibu gelisah, tapi juga kondisi dirinya dan seseorang yang ada di rahimnya yang akan terlahir menjadi bayi mungil.
Sang ibu merasakan kesakitan di perutnya. Sesekali ia tahan. Tapi, nuraninya berkata bahwa rasa sakit ini ialah rasa yang biasa dan alamiah. Sudah enam kali sang ibu merasakan hal yang serupa di kala hamil tua sehingga sudah dipastikan bahwa rasa yang sama pada saat itu ialah rasa sakit sebelum melahirkan seorang bayi. Segera ia mendekat kepada seseorang, ia sampaikan bahwa dirinya akan segera melahirkan.
Sang suami bingung. Malam itu sangat mencekam. Senyap, sepi, seolah tak satupun nyawa yang masih terjaga. Dengan memberanikan diri, sang ibu beserta suaminya pun pergi ke rumah seorang kusir supaya sang kusir dapat mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat.
Orang-orang terdahulu di Kampung Ciparay sangat memiliki jiwa solidaritas yang tinggi. Meskipun kala itu pukul 00.30, sang kusir bersedia menunda rasa kantuknya dan dengan ikhlas segera sigap mengantarkan sang ibu beserta suaminya ke sebuah rumah sakit.
Akhirnya, pada pukul 01.00 lahirlah seorang bayi perempuan yang mungil. Malam itu ialah tanggal 1 Oktober 1965, tepat di Hari Kesaktian Pancasila.
Seiring berjalannya waktu, bayi mungil itu pun tumbuh menjadi seorang perempuan yang gigih dan tangguh menjalani hidup. Ia menjadi perempuan yang kuat. Bahkan bagiku, ia adalah perempuan terkuat dan paling berjasa kepdaku. Ia adalah perempuan yang dititipkan Allah untuk menjadi ibuku dan ibu bagi ketiga adikku. Ia pun dititipkan Allah untuk menjadi istri yang baik dan sabar bagi ayahkku.
Hingga saat ini, izinkan aku untuk mengucapkan rasa syukur yang tiada ujungnya kepada Allah dan rasa terima kasih yang tiada habisnya kepada Ibu dan kepada ibunya Ibu (almarhumah nenek). Ibuku yang kuat tentunya hadir ke dunia atas perjuangan dan didikan nenek dan kakek yang selalu membiasakan anak-anaknya untuk mandiri dan penuh perjuangan dalam mengarungi hidup. Nenek juga selalu membiasakan anak-anaknya agar senantiasa mengerjakan perintah Allah dan senantiasa berbuat baik kepada semua orang.
Di hari jadi ibuku yang ke-49 ini, aku berharap semoga ibu semakin dilimpahi berkah oleh Allah, selalu sehat, dan senantiasa meningkatkan segala amal kebaikan. Meski telah dua tahun ini tidak bisa hadir di tengah suasana bahagia rumah di 1 Oktober, aku masih berharap kita semua saling mendoakan meski jauh.
Teriring doa dan salam yang tiada putus dari Kota Hujan. Semoga taburan huruf ini menjadi pengingat kisah kelahiran Ibu dan menjadi sebuah perantara bahwa di sini aku masih selalu mengingat Ibu. (Nida Fadlilah 1-10-2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H