Cuaca pagi yang tak terlalu bersahabat tidak mebuat keluarga Pak Yanto kehilangan semangat untuk segera pergi meladang.Â
Buktinya saat ini, Pak Yanto sudah mengencangkan ikat pinggang dan siap melangkahkan kakinya menuju ladangnya tercinta. Bu Sumi juga tak kalah sibuk menyiapkan bekal untuk siang nanti  dalam rantang legend yang tak pernah luput menjadi saksi bisu atas kerja keras Pak Yanto di ladang.
Joko. Remaja berdarah Jawa itu sedang mengisi perut kosongnya sebagai amunisi untuk berperang. Dengan mulut yang penuh dan semangat yang menggebu, Joko amat sangat siap untuk mulai bertempur, melawan rasa lelah, bau badan juga pakaian bersih yang abrkadabra berubah menjadi kotor dalam sekejap.
"Le, bapak mangkat, yo! Iku rantang ojo lali digowo!" Pak Yanto meninggalkan Joko dengan mulut yang masih penuh dengan amunisi berperangnya.
"Cepet to, le! Iku bapak wes mangkat." Bu Yumi yang telah selesai menyiapkan bekal makan siang lantas menyuruh Joko bergegas menyusul bapaknya yang sudah pergi terlebih dahulu.
Joko dengan cepat menyelesaikan sarapannya, "Inggih, bu." Badannya mulai berdiri tegap. Tangannya meraih rantang diatas meja. "Joko mangkat, yo, Bu. Assalammualaikum." Joko mengecup tangan Bu Yumi sebelum melangkah keluar.
Hari ini beberapa umbi-umbian sudah siap untuk dipanen dan dipasarkan malam nanti. Joko meletakkan rantang itu didalam saung kecil.Â
Tempat yang biasa digunakan untuk berteduh dan beristirahat. Joko berlari-lari kecil menyusul Pak Yanto yang sudah mulai mengumpulkan singkong. Kali ini yang menjadi musik pengiring tak hanya kicauan Burung yang merdu, tetapi juga obrolan kawanan monyet yang nihil sekali dipahami oleh manusia.
Matahari sudah berada tepat diatas kepala. Pak Yanto dan Joko sudah selesai melaksanakan shalat Dzuhur dan amat sangat siap untuk mengisi perut yang sudah mulai keroncongan.
"Joko!!" Pak Yanto sedikit berteriak.
"Ono opo, toh, Pak?"