Sudahkah kalian mendengar istilah Strawberry Generation? Jika kalian merasa menjadi pribadi yang mager untuk beraktifitas, kurang percaya diri untuk melakukan sesuatu, malas bepergian untuk menemukan sesuatu yang baru, kerjaannya di kamar mulu, sering patah semangat dan overthinking. Nah, kalianlah yang disebut Strawberry Generation.
Menurut Prof. Rhenald Kasali dalam bukunya yang berjudul "Strawberry Generation", generasi ini adalah generasi yang penuh dengan pemikiran kreatif namun juga mudah menyerah dan gampang baper alias sakit hati. Istilah Strawberry Generation sendiri merujuk pada buah Stroberi yang indah namun lunak. Pemilihan buah Stroberi untuk menyebut generasi ini adalah generasi sekarang yang bagaikan buah stroberi yang tampak indah dan matang tetapi, ketika ia dipijak atau tertekan stroberi akan mudah hancur.
Hal tersebut sudah menggambarkan banyak fenomena zaman sekarang dimana anak-anak muda dalam usia yang seharusnya produktif mereka lebih suka bermalas-malasan atau istilahnya mager. Mereka takut untuk mencoba sesuatu yang baru, takut gagal, takut mendapat kritik ini dan itu sehingga ketakutan-ketakutan tersebut membuatnya menjadi pribadi yang malas beraktifitas dan lebih memilih menyimpan pemikiran-pemikiran bagusnya seorang diri. Fokus pada dunianya sendiri dan membiarkan orang lain berproses maju tetapi, mereka stuck di tempat.
Selain itu definisi ini sendiri banyak kita temui melalui curhatan-curhatan mereka di media sosial, curhatan berisi sakit hati, mudah menyerah, dan keresahan yang mereka alami, gagal melakukan sesuatu dan tidak bersemangat lagi walaupun sebenarnya mereka adalah anak-anak muda yang seharusnya mempunyai tekad untuk mencoba lagi dan bangkit dari kegagalan.
Lalu apa saja sih yang menjadi penyebab hadirnya Strawberry Generation itu? Menurut Prof. Renald Kasali ada beberapa hal yang mempengaruhi hadirnya Strawberry Generation tersebut, hal tersebut antara lain:
1. Â Â Â Mendiagnosis diri sendiri tanpa melibatkan pihak ahli
Kita sebagai generasi millenial tentunya menjadikan media sosial sebagai salah satu kebutuhan sehari-hari dalam mencari dan mendapatkan informasi. Bisa dihitung berapa kali kita bermain gadget dalam sehari, karena memang tidak bisa dipungkiri pada era ini teknologi memang sangat diperlukan. Oleh karena itu, informasi-informasi dan segala hal apapun yang lewat di media sosial kita akan cepat menangkapnya. Kita terpapar informasi-informasi yang ada dan mencocok-cocokan dengan realita yang tengah kita hadapi. Kita berkesimpulan bahwa apa yang terjadi pada kita seperti apa yang dikatakan di media sosial.
Seperti misalnya ada curhatan seseorang yang mengalami masalah kesehatan mental karena masalah kuliah, kemudian ia didiagnosa terkena gangguan mental yang menyebabkan ia depresi, sedih yang berlebihan dan sebagainya. Kita yang merasa merasakan hal yang sama kemudian mendiagnosa diri sendiri bahwa kita mengalami hal serupa. Padahal, kita tidak tahu bahwa sebenarnya apa yang kita alami sama atau tidak dengan yang dikatakan di dalam media sosial. Kita mendiagnosa diri sendiri tanpa konsultasi kepada pihak ahli yang bisa memutuskan.
Contoh lainnya misalnya kita merasakan keluhan-keluhan yang terjadi pada tubuh kita tapi kita malah mencari-cari asal di internet dan langsung mempercayainya. Tidak salah memang mencari informasi di internet. Namun, sebaiknya kita tetap perlu pemeriksaan langsung dari para ahlinya. Hal ini tentunya menyebabkan kita menjadi pribadi yang suka overthinking, gampang bersedih dan putus asa.
2. Â Â Â Anak dibesarkan dalam kondisi yang sejahtera dibandingkan generasi sebelumnya
Kehidupan masa kini tidak bisa dipungkiri memang umumnya lebih sejahtera. Dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan akan membuat seseorang menjadi pribadi yang bisa dibilang manja. Karena kebutuhan-kebutuhan yang seringkali merasa tercukupi, kita meminta apa mudah diberikan, kita ingin apa bisa cepat mendapatkan sehingga karena keadaan ini seseorang tidak merasakan arti penting sebuah perjuangan mendapatkan sesuatu. Seseorang cenderung ingin cepat mendapatkan apa yang ia mau karena ia terbiasa dimanjakan, sehingga ketika seseorang mendapatkan suatu kegagalan ia akan mudah lembek, patah semangat, dan lelah jika ingin mencobanya lagi.