Ketika fajar menyingsing, suara alarm jam digital ku berdering. Begitu pintu kamarku kubuka, akupun perlahan berjalan keluar kamar dengan mataku yang masih menahan kantuk, lalu aku mendengar suara wajan yang bergesek dengan spatula, serta tercium aroma-aroma masakan dari sebuah ruangan dekat kamarku. Ruangan ini sebenarnya tidak cukup besar, kira-kira tiga kali empat meter persegi dengan banyak wajan yang bergantung disekitarnya serta piring, gelas, dan bumbu masakan yang terususun rapih. Ya, ruangan itu adalah dapur, tempat favorit ibuku untuk memasak setiap hari.
Ditengah dapur, ada sebuah meja bundar yang kursinya tersusun rapih, di atasnya terdapat berbagai macam buah seperti mangga, apel, dan pisang. Pisang yang hampir membusuk mulai berubah warna yang posisinya diletakkan di sebelah gelas besar yang bibir gelasnya sedikit retak. Disudut ruangan terdapat tempat yang tersusun yang terbuat dari alumunium dilapisi cat berwarna biru muda di dalamnya berisikan tumpukan piring yang bermotif bunga-bunga.
 Aku melihat bumbu masakan yang sangat berantakan di dekat ibuku yang sedang memasak, kemudian aku membantu ibuku untuk merapihkan dapur yang sangat berantakan itu, dan ketika aku sedang merapihkan dapur ibuku memanggil dan memintaku mencicipi masakan yang sedang ia buat, dan ketika aku mencicipi masakan tersebut rasa masakan ibuku ternyata sangat lezat dengan rasa gurih yang memanja lidah ku.
Aku tak sabar untuk menunggu masakan ibu selesai dan dihidangkan, karena aroma yang tercium saat aku keluar dari kamar tadi membuat lidah ku ingin mencicipi dan menikmati masakan nya yang enak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H