Film yang berdasarkan pada novel karya Cho Nam Ju merupakan salah satu film yang mengangkat isu perempuan, khususnya kehidupan perempuan di Korea Selatan. Kim Ji Young, seorang perempuan, anak dan juga ibu yang hidup di Korea Selatan, melihat dan merasakan kentalnya budaya patriarki di negaranya. Semasa hidupnya, ia melihat perempuan selalu menjadi seorang yang harus berkorban dan mengalami tindakan pendiskriminasian di lingkungan masyarakat. Digambarkan pula Kim Ji Young mengidap depresi postpartum, suatu kondisi seseorang dapat berubah menjadi orang lain dalam keadaan tertentu. Dalam hal ini, Kim Ji Young akan berubah menjadi dua sosok perempuan yang mengisi kehidupannya, yaitu ibu dan neneknya.
Dengan alur campuran, penonton disuguhkan dengan beberapa pengalaman tidak menguntungkan yang kerap kali dialami oleh perempuan, khususnya Kim Ji Young. Bagaimana pengorbanan Mi Sook (ibu Kim Ji Young) yang harus merelakan pendidikannya untuk menghidupi saudaranya. Ayah dan nenek Kim Ji Young yang selalu membanggakan dan memprioritaskan Kim Ji Seok (adik laki-laki Kim Ji Young) hingga tidak mengetahui makanan kesukaan anak perempuannya. Belum lagi dengan sikap yang diambil oleh Young Soo (ayah Kim Ji Young) ketika Kim Ji Young mengalami pelecehan seksual di bus sepulang dari sekolah. Bukannya menenangkan Kim Ji Young (seorang korban pelecehan), malah sebaliknya, Kim Ji Young disalahkan dengan alasan penggunaan pakaian yang terlalu minim.Â
Pendiskriminasian perempuan dalam ruang lingkup pekerjaan juga dihadapi oleh perempuan. Hakikat perempuan yang suatu saat akan hamil dan melahirkan sering kali dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk tidak mengikutsertakan pegawai perempuan dalam suatu program tim perencaan.
Sebenarnya, perlakuan yang diterima Kim Ji Young merupakan beberapa contoh yang kerap kali dialami oleh berbagai perempuan di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Stigma negatif, pendiskriminasian dan pelecehan seksual masih menjadi momok yang menyeramkan untuk kaum perempuan. Pertanyaan ‘kapan menikah?’, ‘kapan punya momongan?’, ‘kapan nambah momongan?’ menjadi pertanyaan wajib bagi perempuan yang dianggap oleh mereka sudah memasuki ‘waktu’nya untuk menikah. Keputusan perempuan terkait menunda kehamilan, fokus pada jenjang pendidikan ataupun karirnya menjadi hal yang selalu dipertanyakan. Berkembang pula paham bahwa perempuan tidak diperbolehkan untuk melebihi suaminya (entah itu dalam jenjang pendidikan ataupun karir) sangat menyesakkan dan menutup ruang gerak perempuan untuk menggapai impiannya.
Beberapa tahun belakangan, Indonesia juga dihebohkan dengan banyaknya pemberitaan pelecehan ataupun pemerkosaan yang muncul kepermukaan. Sungguh miris melihatnya dimana mayoritas korban adalah pelajar dan pelaku merupakan orang terdekat korban. Respon masyarakat tentulah geram, namun tidak sedikit yang mempertanyakan ‘kenapa baru sekarang melapor?’, ‘sepertinya itu hanya settingan untuk mendapatkan perhatian’ atau bahkan membela para pelaku dikarenakan image, backingan dan privillagenya yang tinggi di masyarakat. Padahal korban membutuh keberanian dan tekad yang kuat untuk membuka luka lama sehigga mereka berani speak up.Â
Lantas, kenapa harus memberikan respon negatif dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Memang, crosscheck akan sebuah informasi sangatlah penting, apalagi di zaman sekarang yang dipenuhi dengan pemberitaan hoax. Namun bukan berarti menutup kebenaran ataupun tidak menerima kenyataan yang ada. Sudah saatnya kita membuka mata dan tidak bersikap acuh. Hal menyedihkan ini ada ditengah masyarakat.
Selain menggambarkan bagaimana struglenya kehidupan Kim Ji Young, film ini turut memperlihatkan bagaiama sikap yang diambil oleh Jung Dae Hyun (suami Kim Ji Young) dalam mengahadapi permasalah rumah tangganya. Bagaimana perhatian dan support yang dilakukan oleh Jung Dae Hyun ketika mengetahui Kim Ji Young ingin bekerja kembali ataupun ketika Kim Ji Young sedang mengalami depresi postpartumnya. Mungkin penonton perempuan akan terlena dan mengharapkan memiliki pasangan yang memiliki sikap seperti tokoh yang diperankan oleh Gong Yoo. But it’s not real, this is movie girls. Bukan berarti tidak ada orang baik dan tidak diperbolehkan untuk mengharapkan pasangan yang baik pula.
Justru dengan film ini kita belajar untuk mencari pasangan hidup yang baik, belajar menjadi seorang yang baik untuk pasangan kita, saling menghargai sesama manusia, menerima segala kekurangan pasangannya dan bertanggung jawab terhadap pernikahan. Film ini juga mengingatkan betapa pentingnya kesehatan mental setiap manusia sehingga diharuskan untuk menjaga, menghargai dan mentoleransi setiap perbedaan dan kehidupan setiap individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H