Di bawah administrasi terbaru Presiden Prabowo Subianto, Indonesia telah berkomitmen untuk memasuki blok ekonomi BRICS. Keputusan ini menjadi salah satu yang dinilai kontroversial, terutama dengan tergabungnya Indonesia ke dalam blok ekonomi OECD pada Juli 2023 lalu. Perdebatan ini seringkali muncul karena asumsi perbedaan dasar antara kedua blok ekonomi tersebut. BRICS, sebagai blok ekonomi negara berkembang dengan China sebagai ekonomi pendukungnya, dibentuk dengan tujuan menciptakan ekonomi multipolar sebagai alternatif bagi sistem ekonomi dunia yang tidak hanya bergantung pada ekonomi Barat (BBC Indonesia, 2024, 28 Oktober). Sebaliknya, OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) adalah blok ekonomi yang berfokus pada pembentukan kebijakan ekonomi dan sosial untuk kebaikan bersama, dengan mayoritas anggotanya merupakan negara-negara global utara dengan ekonomi maju, sehingga secara tidak langsung mempromosikan unipolaritas ekonomi Barat (Kenton, 2020).
Pertanyaan yang kerap muncul adalah, “Mengapa masuk BRICS?”. Pertanyaan ini dijawab oleh Menteri Luar Negeri Sugiono, yang menjelaskan bahwa keinginan tersebut merupakan upaya untuk mengajak negara-negara BRICS menjadi penyeimbang kepentingan negara-negara maju dan berkembang. Sugiono juga menegaskan bahwa kepentingan OECD dan BRICS tidak bersifat bertolak belakang, serta masing-masing menghormati aturan dan hukum yang berlaku di Indonesia (Bloomberg Technoz, 2024). Menlu Sugiono bahkan membuat pernyataan resmi pada KTT BRICS Plus di Kazan bahwa tergabungnya Indonesia ke dalam BRICS merupakan bentuk implementasi politik luar negeri bebas aktif, sebuah pendekatan diplomasi yang dianut sejak awal kemerdekaan Indonesia (BBC News Indonesia, 2024).
Selain sebagai pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, langkah masuknya Indonesia ke dalam BRICS juga memiliki sisi pragmatis. Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto menekankan kepentingan utama Indonesia untuk bergabung dalam klub manapun selama memberikan keuntungan ekonomi bagi bangsa (Kompas.com, 2024).
Namun, tantangan baru saja dimulai. Dengan Donald Trump secara pasti terpilih sebagai Presiden AS 2024 setelah mengalahkan Kamala Harris dalam pemilu nasional 2024, meski belum resmi menjabat, Trump telah merencanakan tarif impor yang harus dibayar oleh perusahaan Amerika jika ingin mengimpor barang dari luar negeri. Langkah ini diharapkan dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk beralih dari manufaktur luar ke manufaktur dalam negeri. Tarif ini juga digunakan sebagai alat politik, seperti ancaman pengenaan tarif impor dari Meksiko sebagai respons terhadap tingginya angka imigran ilegal yang masuk ke AS (The Guardian, 2024).
Tarif AS menjadi masalah besar yang relevan bagi BRICS dan, secara tidak langsung, Indonesia. BRICS sendiri berencana membuat mata uang baru sebagai upaya membebaskan diri dari dominasi dolar AS dan mengurangi risiko kelemahan mata uang tersebut. Sebagai respons, Trump mengeluarkan ancaman pemberlakuan tarif 100% kepada negara-negara BRICS jika proyek pembentukan mata uang baru ini dilanjutkan. Trump memandang langkah ini sebagai ancaman terhadap mata uang Amerika Serikat.
Pemberlakuan tarif ini dapat berdampak besar pada hubungan antarnegara, terutama antara AS dan negara-negara BRICS, serta bagaimana BRICS sebagai organisasi merespons kebijakan tarif tersebut. Lebih jauh, hal ini juga dapat memengaruhi bagaimana OECD berinteraksi dengan BRICS. Mengingat AS bukan satu-satunya ekonomi terbesar di dunia, dengan China sebagai anggota BRICS yang memiliki ekonomi saingan AS, tarif ini berisiko menciptakan gesekan antara ekonomi AS dan ekonomi BRICS yang membatasi kerja sama kedua blok ekonomi tersebut.
Meski dinyatakan bahwa BRICS dan OECD tidak bertolak belakang dalam hal apapun, tetap meneruskan keputusan tersebut bisa memberikan efek yang bertolak belakang dalam pragmatisme Indonesia, terutama dengan adanya risiko gesekan dengan AS. Hal ini menjadi bahan pertimbangan penting bagi Indonesia, terutama dalam keputusannya untuk tergabung dalam BRICS, sekaligus untuk terus menggunakan pragmatisme dan politik luar negeri bebas aktif sebagai dasar pengambilan keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H