Sebentar lagi pendaftaran pilpres dimulai, namun melihat kondisi terakhir tampaknya Partai Golkar terancam tidak bisa berkontribusi untuk ikut serta menyumbang Capres. Kenyataan ini sungguh ironis mengingat Golkar adalah pemenang kedua Pileg 2014 dan merupakan partai pertama yang mendeklarasikan Capresnya yaitu Aburizal Bakrie.Meski pengumpul suara dua terbanyak, Golkar seakan tidak berdaya mencari teman koalisi untuk mengusung Capresnya.
Pasca Pileg sebenarnya Golkar memperoleh tawaran koalisi dari Jokowi, namun tawaran tanpa bagi-bagi kursi cawapres maupun menteri tentunya tidak menarik bagi Golkar. ARB menjadi Capres adalah harga mati saat itu. Bahkan dengan pedenya ARB berseloroh kalau Jokowi mau jadi Cawapres bagi dirinya tentunya Golkar akan berkoalisi dengan PDIP.
Namun tampaknya waktu berjalan begitu cepat. Ketika Jokowi dan PDIP sudah memastikan rekan koalisi untuk pertarungan pilpres, ARB dan Golkar belum mendapat satupun rekan koalisi sampai saat ini. Setelah menolak Jokowi, ARB malah mendapat penolakan dari banyak tokoh untuk menjadi cawapres bagi dirinya. Rencana menarik suara PKB dengan menawarkan Mahfud MD sebagai cawapres berakhir sia sia.
Menyadari kansnya mengikuti Pilpres semakin tipis tanpa adanya rekan koalisi, ARB pun pelan-pelan mulai membuang egonya. Dengan balik menyambangi Prabowo dan menyatakan bahwa dirinya ikhlas jika nantinya hanya jadi cawapres, ARB berusaha mengamankan tiket Golkar menuju pilpres. Namun umpan yang diberikan ternyata tidak bersambut. Hashim Djojohadikusumo menolak rencana koalisi ini karena menyadari bahwa ego ARB masih tinggi dan menyandingkannya dengan Prabowo malah akan menjadikannya sebagai kartu mati mengingat elektabilitasnya yang rendah.
Disisi lain internal Golkar mulai bergejolak. Pernyataan ARB bahwa ia mau menjadi cawapres bagi Prabowo membuat sebagian kader menilai bahwa pernyataan itu sama saja merendahkan Golkar. Sebagai pemenang kedua Pileg, sudah seharusnyalah posisi Capres yang di dapat. Bukan malah turun derajat menjadi cawapres. Menyadari kekeliruannya, ARB mulai menggoda PPP yang sedang melakukan rapimnas kala itu dengan menawarkan posisi cawapres bagi Lukman Hakim. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, Lukman Hakim pun menolak halus dengan menyatakan bahwa ia belum pantas untuk mendapatkan posisi cawapres.
Gagal dengan Gerindra dan PPP, ARB pun mulai mengingat kembali tawaran dari Jokowi. Bertempat di Pasar Gembrong ARB mencoba membuka kembali wacana kembali koalisi. Namun seperti sebelumnya, Jokowi menetapkan syarat ketat bahwa tidak ada bagi bagi cawapres maupun menteri menteri. Dan itu artinya tidak ada kepastian posisi cawapres bagi ARB.
Setelah mendapat ketidakpastian posisi dari Jokowi, ARB pun menyambangi SBY. Dan disinilah kita melihat kecerdikan SBY.Menyadari bahwa Golkar butuh ikut Pilpres demi menyelamatkan muka  maka itu menjadikan posisi tawar Demokrat lebih tinggi dari Golkar. Disinilah SBY mendikte atau bahasa halusnya memberi jalan tengah bagi kedua belah pihak. SBY menawarkan Sultan Hamengkubuwono menjadi Capres bagi kedua belah pihak. Dengan Sultan masih sebagai kader Golkar tentunya itu bisa menjadi penyelamat muka bagi Golkar untuk bisa mengikuti ajang pilpres untuk posisi capres.
Dari semua peristiwa atas kita bisa melihat ketidakberdayaan Golkar. Sebagai partai pemenang kedua pemilu, Golkar ternyata tidak mempunyai daya tawar. Golkar tidak bisa menentukan arah Pemilu sesuai kehendak mereka. Bahkan dari Gerindra, PDIP dan Demokrat semuanya mampu mendikte Golkar dengan agenda mereka masing masing. Sungguh ironis menyaksikan bahwa partai dengan suara terbanyak kedua tidak bisa menyuarakan suara mereka sendiri.
Pilihan Golkar sekarang sungguh terbatas. Hampir dipastikan rapimnas mereka akan berlangsung panas. Apapun keputusan yang dipilih, Golkar akan tercabik cabik harga dirinya. Partai besar namun tak mampu mengajukan capres seperti keinginan mereka sendiri. Tentunya ini menyakitkan bagi sebagian kader mereka terutama  bagi ARB sendiri.
Lalu sebenarnya dimana letak kesalahan mereka? Seperti yang sudah dikatakan hampir semua orang tentunya pencapresan dari ARB itu sendiri. Mengingat elektabilitas dari ARB yang rendah, Golkar masih pede-pedenya untuk mencalonkan dirinya. Golkar seakan akan tuli untuk mendengarkan  pendapat bahwa ARB adalah kartu mati mengingat ia sangat identik dengan lumpur lapindo.
Apakah hanya itu saja? Tentu saja tidak. Masih ingatkah kita akan kasus Boarding Pass? Dengan kepedean tingkat tinggi, ARB berseloroh bahwa hanya dirinya dan Megawati yang sudah mengantongi Boarding Pas Pilpres. Tentunya pernyataan ini dinilai arogan oleh semua pihak tak terkecuali parpol2 lain yang berusaha untuk mendapatkan tiket capres masing masing. Stigma arogan sudah terpatri pada ARB dan tentunya pribadi arogan susah untuk diajak kerjasama. Tampaknya ini yang menjadi pertimbangan bagi parpol parpol yang menolak koalisi dengan Golkar karena ARB.