Saya bukanlah fan Ajax Amsterdam. Tapi, entah mengapa saya juga ikut sedih dan kecewa berat ketika Ajax gagal melangkah ke final Liga Champions 2018/2019, setelah kalah 2-3 dari Tottenham Hotspur di Johan Cruyff Arena, Amsterdam, pada Kamis (9/5/2019) dini hari WIB tadi.
Dalam leg kedua semifinal Liga Champions 2018/19 tersebut, Ajax nyaris masuk final, hanya tinggal sepersekian detik saja jaraknya, ketika sampai menit 90+4 (atau 90+5, menurut beberapa sumber dan klaim Matthijs de Ligt, gol terlewat 5 detik dari waktu tambahan) masih imbang 2-2 sehingga agregat menjadi 3-2 untuk kemenangan wakil Belanda itu atas wakil Inggris. Seperti diketahui, di leg pertama Ajax berhasil mengalahkan Spurs di kandangnya sendiri, lewat gol tunggal Donny van de Beek.
Namun, dramatis sekaligus tragis, Tottenham berhasil membalikkan keadaan, mulai dari pembalasan atas ketertinggalan di leg pertama, kemudian pembalasan atas ketertinggalan di laga leg kedua ini.
Laga baru saja berjalan, kapten Matthijs de Ligt mencetak gol di menit ke-5, yang seolah mempertegas kepada Spurs bahwa tim yang dipimpinnya itu sangat layak masuk final Liga Champions untuk menantang Liverpool yang telah masuk final terlebih dahulu dengan mengalahkan Barcelona, dengan cara yang dramatis.
Agregat sudah melebar menjadi 2-0 untuk kemenangan De Godenzonen. Tapi, bagi Hakim Ziyech hal tersebut belumlah cukup, sekaligus ia ingin membuat namanya masuk buku sejarah yang akan terus dikenang apabila nantinya timnya masuk final dan juara, dengan cara mencetak gol kedua Ajax ke gawang kawalan Hugo Lloris. Agregat makin melebar: 3-0!
Tamat bagi Mauricio Pochettino, selesai sudah bagi Spurs! Tunggu dulu, bukankah kemarin Liverpool yang di leg pertama tertinggal 0-3 tapi bisa membalikkan keadaan dengan membantai Barcelona empat gol tanpa balas di leg kedua? Jika Juergen Klopp bisa, mengapa seorang Mauricio Pochettino dan Tottenham Hotspur tidak mencoba seperti itu saja? Sedikit menebak, begitulah yang dipikirkan oleh manajer The Lilywhites.
Terinspirasi Liverpool yang comeback atas Barcelona, juga terinspirasi Ajax itu sendiri. Ajax? Ya, selain Liverpool yang membalikkan keadaan dari tertinggal 0-3 dari Barca di leg pertama --yang dianggap nyaris mustahil-- kemudian malah menjadi menang menjadi agregat 4-3 di leg kedua, Ajax juga dikenal spesial soal membalikkan keadaan, bahkan bisa dibilang juga tim pembunuh raksasa.
Mari sedikit mundur. Â Di babak 16 besar, Ajax mendapat undian yang dirasa kurang beruntung: bertemu Real Madrid, sang juara bertahan dan satu-satunya tim yang bisa menjuarai kompetisi ini 3 kali berturut-turut yakni pada musim 2015/16, 2016/17, 2017/18.
Leg pertama dilaksanakan di Amsterdam. Hasilnya minor bagi tim asuhan Erik ten Hag, mereka berhasil digembosi 1-2. Di leg kedua, keajaiban terjadi. Di Madrid, gantian Ajax menjungkalkan Los Blancos. Tak tanggung-tanggung, skor 4-1 dengan jelas terpampang di papan skor Santiago Bernabeu untuk tim tamu. Ajax lolos dengan penuh kejutan.
Meski mengejutkan, sebagian lain mencibir: Ah, itu kan karena performa Madrid memang menurun, plus tanpa Cristiano Ronaldo, Madrid bisa apa? Mungkin begitu. Tetapi, kemudian di perempat final, Ajax berhadapan dengan Juventus, juga salah satu calon kuat juara di kompetisi ini. Dengan menjadi juara Serie beberapa musim terakhir, plus dengan adanya sang megabintang Cristiano Ronaldo, peluang Ajax lebih tipis untuk mengalahkan La Vecchia Signora, dibanding mengalahkan Real Madrid sebelumnya.