Terdapat beberapa hal yang dapat saya petik dari membaca buku Continuity under Change in Dayak Society. Kesimpulan awal saya bahwa politik identitas sudah berabad-abad lamanya eksis, tidak terkecuali di bumi Kalimantan. Bahwasannya, orang Dayak di ruang publik itu masih dikatakan sangat tabu, sebab terminologi kata "Dayak" menunjukkan pada masyarakat suku terasing, primitif, "close to nature" yang hidup di hutan dan berburu.
Movement terjadi ketika Johanes Chrisostomus Oevang Oeray naik menjadi leader di Kalimantan Barat, yang kemudian membawa perubahan besar-besaran pada kehidupan masyarakat suku Dayak di Kalbar. Membuka ruang untuk maju, dan meninggalkan keterisolasian dan keterasingan. Meski demikian, sampai hari ini masih terdapat realita masyarakat Dayak yang masih isolated, alienated, jadi masih belum mengenal adanya indigenous movement. Mungkin ada, namun dipolitisasi juga.
Politik dan identitas, itu dua terminologi yang berbeda. Politik identitas sangat penting dan semestinya menjadi warna kehidupan kita bermasyarakat dan menjadi warna dalam demokrasi kita. Namun, akan menjadi sangat berbahaya jika identitas sudah dipolitisasi, sehingga menimbulkan kekejaman dan koflik berkepanjangan. Bukan saja konflik elit, melainkan mobilisasi massa yang notabenenya dijadikan "alat" politisasi.
Ada dua hal yang saya garis bawahi yaitu politik identitas dan identitas yang dipolitisasi. Pada dasarnya politik identitas merupakan suatu hal yang memberi warna tersendiri pada negara-negara yang menganut sistem demokrasi.
Terlebih di Indonesia yang notabene masyarakatnya multikultur (beragam suku agama dan golongan). Jika keberagaman ini dikelola dengan bijak, maka politik sehat akan menjadi warna dengan beragam identitas di dalamnya.
Politik identitas tidak bisa kita lepaskan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya saat masa pemilukada saja, melainkan politik identitas terjadi pada kultur dan struktur masyarakat tertentu. Oleh sebab itu, politik identitas bukan persoalan selama itu dikelola dan tidak disalahgunakan oleh pemangku kepentingan.
Kemudian, identitas yang dipolitisasi, hal ini yang sangat berbahaya dan merusak tatanan berdemokrasi kita. Saya tidak akan mencontohkan pada Pilkada DKI Jakarta yang sudah lalu, namun bagaimana kita bijak menyikapi, menjadi manusia Indonesia yang bertanggung jawab dan bukan berdasarkan identitas SARA dan kedaerahan kita, melainkan identitas ke-Indonesiaan kita. Di mana kita dipersatukan oleh Indonesia, bukan atas golongan tertentu.
Hal yang bisa berdampak negatif juga yaitu teknologi untuk memobilisasi masa melalui sosial media cukup berkontribusi aktif. Jangan heran jika ada calon kepala daerah bercengkerama cukup hangat dengan warga miskin di suatu daerah. Atau calon kepala daerah yang tiba-tiba tampil pada suatu acara yang semestinya sakral. Hal-hal demikian bukan sesuatu yang baru. Bahkan cukup memuakkan.
Pilkada di beberapa wilayah Kalimantan Barat, baik pemilihan wali kota, bupati dan gubernur, pada dasarnya merupakan agenda untuk perombakan daerah untuk menjadi lebih baik dan beradab. Pada kenyataannya persoalan ekologi, eksploitasi SDA, dan deforestasi, menjadi misi utama penguasa atas nama perbaikan dan keberlanjutan ekonomi masyarakat. Terminologi "Dayak" yang "close to nature" sama sekali dirampas oleh tangan-tangan penguasa. Dan penguasa nya adalah orang Dayak itu sendiri.
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." -Soekarno-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H