Ethan adalah nama pemberian orangtuanya. Tidak ada nama Tionghoa selain nama bercitarasa Eropa itu. Ia generasi ketujuh imigran dari daratan China yang mendarat di Batavia di akhir abad ke-17. Leluhur Ethan adalah petani sederhana dari wilayah Fukian yang menikah dengan seorang niang dari Bali. Saat sepuluh ribu orang Tionghoa dibantai oleh VOC dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Adrian Valckenier, buyut Ethan melarikan diri ke pesisir utara Jawa. Setelah pemberontakan China yang gagal di Batavia pada tahun 1740 itu, buyut Ethan melanjutkan perlawanan terhadap VOC di Lasem.
Sejak itu leluhur Ethan bergabung dengan adipati Lasem bergelar Tumenggung Widyaningrat melawan VOC di daerah Rembang, Jepara, Pati, Tegal serta Semarang. Meski adipati Lasem dengan nama asli Oei Ing Kiat itu gugur dalam perlawanan, catatan kisah kepahlawanan “Perang Kuning” itu masih bisa dibaca di kelenteng Gie Yong Bio, Babagan. Perlawanan terhadap VOC itu begitu meluas, menandai kerjasama erat antara Tionghoa dan pribumi yang mendorong kebangkrutan VOC pada tahun 1799. Kenangan manis itu turut membentuk karakter keluarga Ethan yang menolak posisi golongan Timur Asing mereka, golongan yang diberi akses ekonomi dan politik oleh Belanda untuk memungut gerbang cukai atau monopoli candu terhadap pribumi sebagai bemper pemerintah Belanda.
Di masa revolusi fisik kakek Ethan masuk dalam Partai Tionghoa Indonesia. Kakek Ethan sangat antusias saat PPKI memberi opsi agar golongan Timur Asing seperti mereka melebur menjadi warga negara yang sejajar dengan penduduk lainnya. Ia mengkritik keras keinginan untuk memiliki kewarganegaraan ganda atau hak eksklusif lainnya yang pernah dinikmati saat penjajahan Belanda. Ingin membuktikan sikapnya itu, kakek Ethan hijrah ke Surabaya ikut memanggul senjata melawan Belanda yang ingin menjajah kembali Nusantara dengan membonceng tentara Inggris pada bulan November 1945.
Keluarga Ethan telah melepas atribut nenek moyangnya sebagai seorang dari China dan meleburkan diri dalam budaya masyarakat. Mereka sudah tak fasih berbahasa Mandarin dan hanya bisa berbahasa Melayu atau Jawa peranakan. Mereka paling anti jika kaumnya menyebut pribumi dengan sebutan “fan kui, huana, cuo kui atau tiko”, sebagaimana mereka tak mau dipanggil dengan istilah cina. Papa Ethan bekerja sebagai seorang teknisi sebuah perusahaan otobus di Surabaya, sebuah pekerjaan yang turut menumbuhkan perasaan sejajar dan berbaur dengan para pekerja pribumi lainnya. Selain memiliki rasa kebangsaan yang tinggi, keluarga Ethan aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat di sekitar rumahnya di tengah kampung Wonokromo, seperti kegiatan kesehatan ibu dan anak, arisan kampung atau pendidikan anak-anak pra-sekolah.
Dalam urusan sekolah-pun, keluarga Ethan memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah umum milik negara, dimana Ethan kecil berkembang menjadi anak yang cerdas. Ethan, sejak kecil dipanggil Sinyo oleh teman-temannya karena tubuhnya yang tinggi dan kulitnya putih seperti anak Belanda. Ia masih ingat saat diledek teman-temannya karena bahasa Jawa dengan logat Mandarinnya, seperti “Sinio takberiki (40)” saat ingin memberi makanan ke teman-temannya. Atau, “Makano sakadae”, “makanlah seadanya” yang bisa diartikan dalam bahasa Jawa “makanlah sekalian wadahnya”.
Kenakalan kecil seperti mencuri mangga milik tetangga ia nikmati bersama anak-anak kampung itu. Ia terbiasa bermain sepakbola dengan mereka yang membentuk karakter ironis-spartan bernama “bonek”, bondo nekat. Selain itu, Ethan cilik juga menikmati setengah mati permainan adu balap merpati sepulang sekolah. Anak-anak SD itu akan menunggu merpati mana yang paling cepat mencapai pagupon (41) setelah dilepaskan dari jarak sekitar 10 kilometer jauhnya. Permainan yang sangat memacu adrenalin itu hanya bisa disamai sensasinya oleh permainan adu layang-layang, kegemaran Ethan lainnya.
Berebut layang-layang putuslah yang sangat menyenangkan hati Ethan kecil. Meski ancaman kecelakaan lalu lintas maupun tersengat aliran listrik selalu menghantui, justeru di situlah tantangannya. Semakin tinggi resiko, semakin terasa sensasinya. Disamping itu, permainan adu layang-layang menuntut kepiawaian untuk membuat benang tajam dari ramuan berbahan bubuk kaca dan lem yang direbus dalam air. Layang-layang dari bahan kertas minyak dan bambu buatannya paling digemari teman-temannya, yang secara tak sadar telah membentuk jiwa berdagang Ethan kecil.
Meski terkesan oleh ajaran kebijaksanaan Konfusius maupun cinta kasihnya Isa al Masih, tak membuat Ethan kecil ragu ikut menunggui teman-temannya yang sedang mengaji di langgar kampung. Ia hanya duduk di teras tanpa mengikuti ritual apapun. Mungkin kebiasaannya itulah yang mengantarkannya menjadi mualaf sepuluh tahun yang lalu, sebuah pilihan pribadi yang tanpa paksaan. Dari perenungannya Ethan menyimpulkan bahwa memeluk Islam hanyalah kembali kepada fitrah manusia, sehingga ia tidak merasa meninggalkan ajaran sebelumnya. Sejak saat itu, ia menambah namanya dengan Zhang He.
Bakat dagang rupanya terus menjalari diri Ethan Zhang He. Saat menjadi mahasiswa Akuntansi Universitas Nusantara, Ethan aktif di organisasi kewirausahaan sebagai bendahara umum. Disitulah pertama kalinya ia bertemu Lawe sang ketua umum dan Canka sang ketua divisi inovasi bisnis. Saat itu, Ethan juga praktek bisnis kecil-kecilan dengan berjualan kaos kreatif yang ia beli di Bandung dan Surabaya untuk membiayai kuliahnya. Ia juga membuka usaha fotocopy di dekat stasiun kereta api Depok sambil menyalurkan hobinya membaca cerita-cerita silat Ko Ping Ho. Bukan karena orang tuanya tak mampu membiayai, namun ia telah menetapkan hati untuk mandiri.
Tak mudah bagi Ethan Zhang He memulai bisnisnya diakhir Orde Baru saat perubahan melanda negeri, dan kerusuhan rasial melanda dimana-mana. Ia sadar dari 40 trilyuner terkaya di negaranya bisa dipastikan sekitar delapan dari sepuluh-nya berasal dari suku-nya. Kaumnya menguasai 80 persen bisnis di Indonesia, kebanyakan mengumpulkan kekayaannya dari produksi rokok, perbankan, perkebunan, pertambangan serta hampir semua kegiatan bisnis dari hulu sampai hilir. Saat itu beberapa pengusaha Tionghoa banyak dituding menjadi kaki tangan Cendana, sebuah proses pengaruh mempengaruhi yang diteorikan sebagai perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha.
Ethan Zhang He sadar, kaumnya seringkali masih mendapatkan didiskriminasi oleh aparat pemerintah. Seorang pemain bulutangkis putri terkenal boleh dielu-elukan setinggi langit setelah mempersembahkan Piala Uber bagi negaranya, namun harus menghadapi kenyataan pahit ketika berhadapan aparat birokrasi yang korup. Tahun 1996 saat sang maestro ingin mengurus dokumen-dokumen kewarganegaraan untuk pernikahannya, ia harus dimintai surat SBKRI karena dianggap “orang keturunan”. Konsekuensinya, pemain bulutangkis internasional itu harus membayar lebih untuk keterangan WNI-nya dan dipersulit mengurusnya selama sembilan tahun lamanya. Padahal ia adalah generasi keempat dan salah satu neneknya adalah pribumi.