Pagi ini langit Jakarta berwarna biru dengan mega–mega kapas melayang. Udara cukup terik sebab Matahari equator tidak lagi bersembunyi seperti sejam yang lalu. Angin semilir merambat dari pesisir pantai di sekitar Metropolitan mencumbui daratan yang dipenuhi dongakan gedung-gedung angkuh. Gunung Salak, diluar kebiasaan menampakkan wujudnya dengan jelas. Sungguh sebuah pemandangan langka, karena biasanya langit Jakarta pekat oleh asap kendaraan serta pabrik dari wilayah pinggirannya. Mungkin arwah Belanda-Belanda VOC perancang kota ini sejenak bangkit dari kuburnya menikmati anomali climate change kali ini.
Hal serupa dirasakan pula oleh Lawe. Al Fatih Ronggolawe, demikian ia diberi nama oleh orang tuanya. Al Fatih, nama yang diambil dari gelar pahlawan Turki Usmani yang berhasil merebut Konstantinopel di saat proses keruntuhan imperium Andalusia di Spanyol. Orangtuanya menggabungnya dengan Ronggolawe, tokoh berkarakter tegas yang berani menentang keculasan meski akhirnya harus dianggap sebagai pemberontak. Tokoh penting di jaman awal pendirian Majapahit itu berasal dari kota pesisir Tuban, tempat Lawe tinggal dan tumbuh dewasa.
Jika garis cakrawala langit adalah batas orang-orang menggantungkan cita-cita, maka hari ini Lawe akan menembusnya menuju negeri Kanguru demi menuntut ilmu, sebuah perjalanan terjauh dalam 27 tahun kehadirannya di dunia. Dibandingkan empat tahun pengalamannya bekerja di KPK, ia rasakan moment kali ini lebih menantang nyalinya. Demonstrasi-demonstrasi pro-kontra, penangkapan para koruptor high ranking profile atau kejadian-kejadian dramatis didepan kantornya tak sebanding dengan perasaannya yang sedang membuncah. Dibiayai pemerintah, ia akan menempuh study Master of Public Policy di Crawford School, Australian National University, sebuah universitas bergengsi di benua naulis Australis dengan lima hadiah nobel sejauh ini dipersembahkan oleh para civitas academica-nya.
Baru dua hari lalu ia dapatkan visa di passport-nya dari Kedubes Australia yang letaknya hanya sepelemparan batu dari kantornya di bilangan Kuningan. Beberapa pakaian dingin juga telah ia beli dari Pasar Tanah Abang, dua minggu sebelumnya. Malam tadi telah ia timbang seluruh koper yang akan dibawa, dan memastikan bawaannya tidak melebihi 30 kilogram seperti yang ditentukan oleh Garuda untuk para penumpang student seperti dirinya. Ia harus segera sampai ke Bandara pukul 5 sore, karena pesawat akan membawanya take off pukul 08:40 malam. Dengan diantar kedua orang tuanya, ia mengendarai mobil menuju terminal dua bandara Internasional Soekarno Hatta. Jari-jari Lawe menekan tuts-tuts IPhone-nya ke nomor rekan akrabnya, Ahmad.
“Assalamualaikum, Bro. Udah berangkat?”, Lawe mengawali pembicaraan.
“Walaikum salam. Aku barusan masuk Tol. Agak macet Jakarta, Sobat. Untung setengah jam tadi aku sudah berangkat”, suara Ahmad di seberang.
“Jangan lupa passpornya, Bro. Itu tiket kita ke negeri Kanguru”, Lawe menimpali.
“Pastilah, aku sudah siapkan semuanya, kecuali kaos tangan. Lupa tertinggal dirumah karena kelupaan tadi. Maklum agak gugup, to!”, Ahmad menyahut.
“Ok, pake kaos tanganku aja, nanti kubawakan. Kebetulan kemarin belinya banyak. Jangan khawatir, Bro”, timpal Lawe. “Sampai jumpa di Terminal dua ya. Tolong nanti kawan-kawan agar berkumpul jadi satu. Biar enak berangkatnya. Ngomong-ngomong bagaimana kabar Canka. Apa dia sudah siap juga?”, Lawe meneruskan.
“Siapa-siapa?”, goda Ahmad.
“Cankaya; Charlie, Alpha, November, Kilo, Alpha, Yankee, Alpha!”, sambar Lawe.