Mohon tunggu...
Agustinus Yokit
Agustinus Yokit Mohon Tunggu... Animator - Stay on my way

Belajar dari pengalaman untuk lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fides et Ratio dalam Teologi Moral

2 Desember 2019   14:09 Diperbarui: 2 Desember 2019   14:20 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Iman dan akal budi merupakan dua pilar dan sumber pengetahuan yang dalam perkembangannya sering dipertentangkan satu sama lain. Namun secara prinsip, Gereja Katolik percaya bahwa tidak ada pertentangan antara akal budi (reason) dan iman (faith), karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. 

Apabila akal budi bertentangan dengan iman, maka manusia tidak menggunakan akal budi sebagaimana mestinya atau tidak mempercayai iman yang Ilahi. Karena pada dasarnya Tuhan tidak dapat mempertentangkan Diri-Nya sendiri, maka anugerah akal budi dan iman juga tidak mungkin saling bertentangan. 

Para Bapa Gereja dapat menerangkan misteri iman dengan berfilsafat, dan prosesnya memuncak dalam tulisan St. Thomas Aquinas, tentang Summa Theology. Thomas menjelaskan bahwa Akal budi (intellectus) merupakan kemampuan yang secara hakiki terbuka bagi yang tak terbatas. Akal budi berasal dari bahasa Latin ratio. 

Dalam pemahamannya, akal budi merupakan sebuah kemampuan hakiki yang memberi ciri tersendiri bagi manusia bila dibanding dengan mahkluk lain seperti binatang. Oleh adanya akal budi manusia menjadi ciptaan unik sekaligus yang membedakan manusia dari ciptaan lain. Manusia memiliki akal budi sedangkan ciptaan lain tidak memiliki kemampuan itu. 

Dengan ciri dan kemampuan dasar ini manusia dapat membuka diri bagi yang tak terbatas, karena pada hakekatnya cahaya akal budi adalah sebuah keterbukaan tak terhingga atau cakrawala insani tak terbatas. Akal budi merupakan suatu potensi insani tak terbatas yang senantiasa terbuka untuk segala hal bahkan kepada ruang ketakberhinggaan (infinity).[1] 

Namun manusia menyadari keterbatasan akal budinya. Oleh keterbatasan itu manusia juga sadar bahwa ia tidak dapat secara tuntas membahas semua hal yang dapat dikatakan dan dikenal. Pada saat itu tampak "ruang lain" dalam pengalaman hidupnya. Di hadapan ruang lain ini, akal budi sebagai satu keterbukaan tetap membuka diri sekalipun ia tetap sadar bahwa ruang lain asing dan arena itu harus digapai dengan kemampuan lain. 

Dengan bantuan filsafat, manusia memang telah berusaha memahami segala sesuatu secara baik dan benar oleh kemudahan tawaran kerangka nalar tertentu yang logis. Namun bantuan istimewa ini tetap saja terbatas sifatnya dan karena itu manusia membutuhkan pemberian atau anugerah lain. Anugerah lain itu tampak dalam apa yang disebut oleh dosen pembimbing moral fundamental Dr. Albertus Sujoko, MSC sebagai iman. 

Katekismus Gereja Katolik nomor 50 mengatakan dan menegaskan peranan penting dari akal budi dan iman: "Dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenal Allah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri: yakni wahyu ilahi. Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus. 

KGK 156: "Alasan untuk percaya tidak terdapat dalam kenyataan bahwa kebenaran yang diwahyukan itu kelihatan benar dan jelas dalam cahaya budi kodrati kita. Kita percaya "karena otoritas Allah yang mewahyukan, yang tidak dapat keliru dan tidak dapat menyesatkan". 

Namun, "supaya ketaatan iman kita sesuai dengan akal budi, maka Allah menghendaki agar bantuan batin Roh Kudus dihubungkan dengan tanda bukti lahiriah bagi wahyu-Nya". Akal budi kita adalah sahabat dari iman. Iman dan akal budi saling berhubungan, keduanya tidaklah bertentangan dan tidak dapat dipisahkan. 

Contoh konkret dalam Ibrani 11:17-19, "Karena iman maka Abraham, tatkala ia dicobai, mempersembahkan Ishak. Ia, yang telah menerima janji itu, rela mempersembahkan anaknya yang tunggal, walaupun kepadanya telah dikatakan: "Keturunan yang berasal dari Ishaklah yang akan disebut keturunanmu. Karena ia berpikir, bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang-orang sekalipun dari antara orang mati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun