Tragedi di Stadion Kanjuruhan saat laga klasik Arema VS Persebaya, selain meninggalkan duka mendalam bagi keluarga korban, pula menjadi ujian bagi sepakbola Indonesia.Â
Persoalannya apa kita perlu saling salahkan satu sama lainnya ?  Bahkan, perlukah kita  untuk memantas-mantaskan hukuman FIFA buat PSSI ? Seolah ingin sepakbola Indonesia dihukum seberat-beratnya ?
Peristiwa berdarah di Kanjuruhan harus dijadikan pelajaran berharga bagi kita sebagai Bangsa Indonesia.Â
Sebab, saya yakin, negara-negara yang sekarang  sepak bolanya telah dianggap maju, pernah mengalami fase-fase berdarah seperti di Kanjuruhan. Hanya, mereka mampu belajar dari pengalaman, hingga peristiwa tersebut tidak terulang.
Negara Rusia. Kita kenal negara ini, Â miliki prestasi lumayan di kancah sepakbola dunia. Bahkan, kini, ranking Rusia masuk peringkat 35 dunia. Oktober 1982, pada pertandingan Piala UEFA antara Spartak Moskow VS Haarlem Belanda di Stadion Luzhniki. Terjadi tragedi berdarah, hingga 340 nyawa melayang.
Selain Rusia, Inggris pun pernah alami hal serupa. Pada Mei 1985 di Bardford, sedikitnya  56 orang tewas, akibat tribun penonton terbakar.Â
Konon, penyebab insiden tersebut hingga kini belum terungkap. Masih di Inggris pada April 1989,  bentrok pendukung  Liverpool dengan Nottingham Forest pada semi final Fiala FA di Stadion Hillsborough, tewaskan 96 orang.
Negara Belgia pernah pula alami kejadian pahit di lapangan hijau. Pada Mei 1985, jelang final Piala Eropa yang mempertemukan Liverpool dengan  Juventus di Stadion Heysel Brussels. Di luar stadion terjadi kerusuhan yang berujung 39 nyawa melayang. Di Prancis pada Mei 1992, sedikitnya 18 orang meninggal akibat tribun penonton roboh. Dan masih banyak lagi kejadian yang terjadi pada event pertandingan sepak bola.
Belajar dari kepahitan mutlak harus dilakukan agar peristiwa tersebut tidak terulang. Bukan saja bagi pendukung klub, pemain, pengurus organisasi sepakbola dan Panpel.
Tapi, pembelajaran pun berlaku bagi para petugas pengamanan. Termasuk pihak kepolisian. Apa yang dianggap salah pada peristiwa tersebut, harus menjadi perbaikan bagi moment yang sama di kemudian hari. ( Tatang Tarmedi ) Â