Mohon tunggu...
Nicko Yusiano
Nicko Yusiano Mohon Tunggu... -

orang yg gembira

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Surat Untuk Bonek

13 Maret 2012   02:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09 895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Subkultur kekerasan bukanlah eksklusif milik kalian. Pelaku pengeboman di Bali dan Jakarta yang memakan banyak korban tak mengatasnamakan kecintaan terhadap Persebaya, tapi terhadap agama. Di pojok lain Indonesia, orang saling serang dan berbunuh-bunuha n atas nama kampung, dan bukan atas nama klub sepakbola.

Kebiasaan berdiri di atas atap gerbong kereta api, juga bukan laku khas kalian. Di Jakarta, setiap hari saat jam kerja, selalu ada orang-orang yang memilih berada di atap gerbong kereta api daripada berjubel-jubel di dalam gerbong yang pengap.

Berebut untuk mendapat barang gratis dan murah tak selamanya bisa dilekatkan sebagai perilaku khas kalian, para Bonek. Di Indonesia, orang-orang rela berdesak-desaka n sampai pingsan dan berkelahi, hanya untuk memperoleh Blackberry dengan harga yang'masya Allah'murahnya. Atau rela berdesak-desaka n untuk mendapat Bantuan Langsung Tunai, dan setelah itu pergi ke pasar membeli baju atau barang konsumtif, daripada menyimpannya untuk hal lain yang lebih berguna.

Pada akhirnya, Bondo Nekat adalah sebuah semangat, bukan sekadar nama. Dan dengan semangat itulah, kalian disatukan. Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, beberapa kali menyebut kata'Bonek'atau'Bondo Nekat'dalam memoarnya tentang Pertempuran Surabaya 1945 untuk melukiskan keberanian di masa itu.

Seseorang tak bisa diadili hanya karena semangat yang dimilikinya, atau kebanggaannya. Di negeri ini, orang seharusnya diadili karena apa yang dilakukannya, bukan apa latar belakangnya.

Kita mengadili mereka yang mencuri, menjarah, mengemplang pajak, atau menggangsir uang negara. Namun kita tak bisa mengadili seseorang hanya karena dia kelompok suporter A, B, atau C; atau hanya karena dia memiliki keyakinan X, Y, atau Z.

Kawan, saya tahu kalian marah, dan pada akhirnya mungkin akan berteriak:'kami tak lagi peduli. Lima saudara kami telah mati. Kami akan menuntut balas'.

Tapi apa artinya menuntut balas? Jika mata dibalas mata, maka dunia akan buta. Demikian Gandhi berkata. Tak mudah memang menahan kemarahan, juga dendam. Saya bukan orang suci yang layak memberi nasihat itu, tentu saja. Tapi sebagai orang biasa, warga negara Indonesia, saya tentu boleh berharap: tak ada lagi darah yang menetes di lapangan sepakbola.

Pembalasan dendam hanya akan memunculkan korban baru sia-sia dan memperpanjang daftar amarah, juga kebencian. Warga Lamongan, terutama yang tinggal di Surabaya, bukanlah musuh kalian. Bahkan, saya yakin, mereka juga prihatin dan marah dengan kematian sia-sia itu. Pada dasarnya, kematian anak-anak berusia belasan tahun tersebut adalah duka kemanusiaan, yang menyentuh hati siapapun, menembus demarkasi kasta, agama, atau puak.

Saya ingat tahun 1994, seorang Bonek yang juga satpam yang santun, Suhermansyah, mati dalam kerusuhan di Stadion Mandala Krida Jogjakarta. Saat itu aroma balas dendam menyeruak, tapi hari ini kita semua tahu, kalian bisa bersahabat dengan suporter Jogjakarta.

Saya percaya, suatu saat kelak, luka, kesedihan, dan kemarahan, karena tragedi atas jalur kereta api itu akan berakhir. Saya selalu percaya: bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Setiap luka akan selalu mengering, sebagaimana setiap air mata akan diseka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun