"Baru pulang, tapi ibu memintaku untuk berkenalan denganmu", ucap Sukma dengan senyum tipis.
Wanita itu tampak senang mendapati seorang anak muda yang santun hingga membuntutinya hanya untuk memperkenalkan diri.
"Masuklah, aku punya makanan kecil yang aku beli di kotaku kemarin".
Sukma masuk ke dalam rumah itu yang sama sekali seumur hidupnya tak pernah ia jangkau, meski jarak dengan rumahnya tidak terlampau jauh. Maklum saja, penghuni sebelumnya seorang yang terpandang, dan ia tak mungkin pula bergaul dengan anak mereka. Sukma berkeliling kecil di sekitar ruang tamu itu, sedang wanita itu menuju dapur mengambil sajian yang telah dijanjikannya. Nampaknya, wanita itu gemar mengoleksi foto-foto aktris dengan gaun yang begitu menawan. Jajaran idolanya barangkali, karena tak hanya satu orang saja dalam jajaran foto yang dipasang memanjang di dinding.
Sukma sedikit terlonjak saat wanita itu kembali dan memanggilnya, sembari membawa segelas minuman sirup markisa hangat beserta beberapa macam kue kering.
"Aku suka sekali wanita bergaun. Emm.. maksudku gaya berpakaian dengan gaun", kata wanita itu saat baru saja Sukma meninggalkan foto-foto itu.
"Aku juga, meskipun mustahil aku akan mempunyainya", jawab Sukma, disusul tawa kecil wanita itu.
"Andai aku memiliki beberapa potong, aku sudah memberikannya padamu".
Sukma tersenyum malu, terlihat dalam bola matanya harapan perandaian itu benar-benar terjadi saat itu juga. Betapa semerbak wangi dalam hatinya oleh bunga-bunga. Namun ia percaya, sepertinya wanita itu memang tak memiliki gaun. Sekarang saja, ia hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Meski demikian, di mata Sukma ia masih saja mempesona, begitu sedap dipandang berlama-lama. Ia mulai percaya, jaman telah berubah. Tak mesti seperti masa remaja Murni dulu, gaun lah jawaban mutakhir. Namun sekarang, wanita terlihat menarik dengan pakaian apa saja. Terlebih ditambah dengan goresan-goresan di wajah yang akan memperindahnya.
Beberapa hari sejak kedatangan wanita itu, Murni tampak kerap bersama dengannya. Belanja sayur saat pagi hari hingga mampir di rumahnya atau sebaliknya. Entah apa yang sering mereka bicarakan, Sukma hanya menatap sekilas. Ia kemudian melanjutkan perjalanan untuk menjemput uang-uang logam hingga kertas yang bagi mereka hanya sebatas kembalian yang tak ternilai. Tak jarang pula saat ia kembali ke rumah, Murni tak ditemuinya. Biasanya, sore hari Murni lebih sering menghabiskan waktu untuk duduk di teras belakang menghisap rokok yang ia beli dari sisa belanja beras. Tak lama, Sukma mendapatinya di ruang tamu. Saat ditanya, ia baru saja pulang dari rumah wanita itu.
Malam itu juga, pintu rumah Murni diburu ketukan yang tergesa. Seakan seseorang sedang mengharap pertolongan. Benar saja, wanita itu terengah-engah menjelaskan jika seekor ular memasuki rumahnya. Tak ada yang bisa membantunya, mengingat ia hanya tinggal seorang diri. Malam terlalu pekat untuk meminta bantuan tetangga terdekat. Namun, ia memilih untuk mengungsi di rumah Murni. Sukma yang belum tenggelam dalam mimpi pun ikut nimbrung, dan mengatakan jika ia bisa membantunya. Malam itu juga, ia menerobos kabut dingin yang menusuk kulit dan menggeledah rumah wanita itu. Dengan tongkat kayu di tangan kanan dan sebuah karung beras di tangan kiri. Wanita itu sempat mengkhawatirkannya, berbeda dengan Murni. Ia seakan tak terlalu mempedulikannya, sama halnya dengan segala yang dilakukan Sukma di setiap persimpangan jalan. Sebab hal itu telah berlangsung bahkan sejak sebelum ia berusia remaja.